Menarik melihat bagaimana orang Belanda yang tinggal di
Indonesia di abad lampau mengadaptasi kebiasaan pribumi. Kebiasaan
memakai bantal guling, kebiasaan tidur siang yang tidak biasa bagi orang
Belanda. Juga makan siang dengan menu nasi dan aneka lauk, sementara di
Belanda mereka terbiasa makan siang hanya dengan setangkup roti.
Justus van Maurik (1846-1904)
Karena urusan pekerjaannya, dia mengadakan perjalanan ke berbagai kota di Indonesia (ketika itu bernama Hindia Belanda). Batavia, Surabaya, Semarang, Padang, Medan, Aceh, Deli, Bangka, Gunung Bromo, Gunung Semeru dan daerah lainnya.
Dia mencatat kesannya tentang setiap tempat yang disinggahinya tadi. Melalui buku catatannya yang judulnya berarti “Kesan dari Seorang Belanda Totok”, pembaca seakan diajak menyusuri Indonesia di abad lampau.
Masih banyak lagi kisah tercecer tentang keadaan Indonesia tempo doeloe di buku catatannya yang ditulis di abad 19 itu. Yang saya sadur secara bebas di sini hanya cuplikan sebagian kecil.
Jika pembaca menghendaki, saya tidak keberatan menampilkan kembali cuplikan selanjutnya dari bukunya itu di lain kesempatan.
Van Maurik memulai kisah perjalanannya dari kota Padang. Di kota ini dia menemui kenalannya sepasang suami istri orang Belanda yang tinggal di Padang.
Berikut ini ringkasan cuplikannya……
“Nah, sekarang kau sudah di sini. Syukurlah kau tidak mabuk laut. Silahkan duduk, Van Maurik!
Kau mau limun atau air es dengan sirup asam Jawa?”.
“Saya mau limun saja. Boleh?”
Tuan rumah kenalan saya itu lalu berkata ke istrinya, “Cepat ambilkan minuman buat dia!”.
Dilanjutkannya, “Hari ini panas sekali. Membuat kita mudah haus. Senang sekali kita bisa bertemu di sini. Ah, kau masih tetap sama seperti dulu. Hanya kelihatan sedikit lebih tua. Tentu saja. Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Terakhir kali di pasar saham di Amsterdam. Kau mau kursi lain? Mungkin kau tidak terbiasa dengan kursi goyang”.
Tuan rumah yang ramah itu baru saja menjemput saya di Pelabuhan Emma di Padang. Semalam saya tiba dengan menumpang kapal “De Amalia”.
Dia memandang saya dengan begitu gembira, dengan mata bersinar diulangnya kembali, “Wah, lama sekali ya kita tidak bertemu. Pasar saham itu masih tetap dalam gaya modern “Arke Noach’s” di jalan Damrak? Masih tetap dengan gedung lama itu ya?
Dilanjutkannya lagi, “Di kota Padang ini tidak ada pasar saham. Tapi roda bisnis tetap berjalan. Kau nanti bisa lihat, kalau kita keliling kota melewati sungai-sungai. Kita akan melewati kampung Cina dan beberapa daerah perdagangan”.
Padang tempo doeloe
Dia menoleh sebentar pada istrinya, “Wah, di jalan tadi saya tertawa melihat mata Van Maurik terbelalak memandang pohon kelapa, pohon pisang dan pohon palem. Pokoknya dia betul-betul seperti sedang melihat tumbuhan yang sangat aneh”.
Lalu dia berkata padaku, “Mereka membangun rumah-rumah bagus di sini. Bagaimana menurutmu? Mereka membangun rumah dengan tiang-tiang. Semuanya disesuaikan kalau sewaktu-waktu terjadi gempa bumi. Di sini memang sering terjadi gempa. Kalau misalnya rumah ini roboh, tidak akan mudah hancur berantakan. Nah, sekarang kita duduk di atas rumah bertiang ini, rasanya seperti duduk di balkon. Kami tinggal sangat nyaman di sini. Lihat di sebelah kanan di laut sana! Kau bisa mendengar suara ombak bergemuruh tanpa henti!”.
Di tengah obrolan, dihardiknya ketiga anaknya yang tengah bermain dan menjerit-jerit riang.
“Hey! Jangan berisik terus kalian! Jangan mengganggu mama! Ayo! Lebih baik ambil limun buat meneer ini!”.
Dilanjutkannya, “Di Padang sini udaranya bagus sekali. Ya, memang panas. Tapi angin bertiup sejuk. Di Jawa tidak begitu. Orang betul-betul kepanasan di sana. Lihat saja nanti kalau kau ke Batavia”.
Istrinya yang berwajah riang menawarkan saya air jeruk. “Suamiku ini dari tadi bicaraaa, bicaraaa dan bicara terus. Maklum saja. Dia senang bisa ketemu orang dari Amsterdam di sini. Kesempatan begini jarang sekali.”. Lalu dia bertanya padaku, “Apa pendapatmu tentang Hindia Belanda?”.
Saya menjawab, “Lieve mevrouw! Saya belum tahu. Belum tiga jam saya tiba di sini. Tapi di jalan tadi, saya sudah punya kesan yang luar biasa tentang daerah ini. Di luar dugaan. Wah, sangat nyaman. Pohon-pohon itu, dengan warna hijau yang beraneka. Betul-betul menyenangkan mata. Sangat banyak jenis tumbuhan di sini. Saya sangat menikmati pemandangan bukit-bukit antara pelabuhan Emma dan stasiun. Juga ketika menumpang dokar melewati jalan setapak dengan pohon rimbun di kiri kanan. Padang betul-betul taman yang menakjubkan!”.
Wanita itu menatapku dengan matanya yang kekanak-kanakan, antusias dan bersahabat. Dia menyahut, “Ya, di sini memang sangat indah. Saya lahir di tanah ini. Saya tidak mengerti kalau ada yang bilang di sini membosankan. Di sini kami tinggal dengan suasana yang tidak bisa didapatkan di Holland. Di Amsterdam, kau juga punya halaman kebun?”.
“Ya, saya punya kebun juga. Tapi kecil saja. Tidak luas seperti di sini. Yang saya sebut kebun sebetulnya hanyalah bak kecil dengan tanaman Rhabarber”.
“Hahahahaha…..kasihan. Di halaman kami ada geranium, pohon asam, jeruk, mangga, pohon kelapa, pohon palem kipas yang terindah di Padang….ah banyak lagi. Mau coba kelapa muda? Rasanya sangat enak. Air kelapa bisa diminum. Segar dan menyehatkan. Saya akan menyuruh orang memanjat dan memetik beberapa untukmu”.
Palem kipas, rumah kenalan Van Maurik di Padang
Saya menatap heran ke pohon kelapa yang tinggi itu. Semakin ke puncak semakin miring. Bagaimana mereka bisa memanjatnya?
Seakan menangkap keheranan saya, nyonya rumah segera menyahut, “Ooooh orang-orang pribumi sangat mahir memanjat pohon kelapa. Oh ya, saya sering meminta mereka memetik kelapa. Kadang di antara mereka ada yang punya monyet terlatih. Monyet itu dikendalikan tuannya dengan tali terikat di lehernya. Lalu monyet itu disuruh memanjat. Dari bawah pohon, tuannya cukup berteriak kelapa mana yang mesti dipetik. Dari setiap 10 biji kelapa yang dipetik, mereka menerima upah satu kelapa. Kami di sini butuh kelapa untuk masak. Misalnya untuk “rijsttafel” (hidangan nasi dengan aneka lauk) dan membuat minyak goreng”.
Suaminya memotong pembicaraan. “Maaf, kami sudah membuat kau lelah dengan obrolan ini. Kau bisa istirahat di kamar. Lihat! Gerobak yang membawa kopor-kopormu sudah datang. Sekarang saya harus ke kantor. Kau bisa melanjutkan ngobrol dengan istriku. Sampai waktu makan siang. Nanti kita sama-sama menikmati hidangan “rijsttafel”.
Dia bergegas pergi, tapi balik lagi dan bertanya, “Bagaimana bahasa Melayu-mu? Kau bisa bahasa Melayu?”.
“Sedikit”, jawabku dalam bahasa Melayu.
“Aha! Sudah saya perhatikan dari tadi. Kau pasti sudah belajar selama di kapal. Jadi kau tidak akan begitu susah selama di sini. Oke, sampai jumpa!”.
Nyonya rumah lalu berjalan diiringi jongos, menunjukkan kamar saya. Saya menginap di pavilyun kecil di samping rumah utama.
Rumah tempat menginap Justus van Maurik di Padang
Dari depan pavilyun tampak pemandangan kebun, jalan dan hamparan pantai. Saya sedang menikmati pemandangan indah itu, ketika gerobak yang membawa barang saya datang. Gerobak itu ditarik oleh pesuruh dan tukang kebun. Mereka kelihatan tidak begitu kuat, terengah-engah menarik gerobak itu. Padahal barang-barang seberat itu oleh kuli-kuli di Amsterdam bisa digotong dengan mudah di bahu.
Jadi sekarang saya berada di Hindia Belanda? Saya membatin, sambil sibuk mengeluarkan pakaian dari kopor. Ya! Saya bisa merasakannya. Perlahan-lahan saya sudah mulai merasa panas. Sangat panas sehingga saya merasa sulit bernafas. Saya merasakan keringat menetes tanpa henti, walaupun saya sudah mengelap berkali-kali. Saya lalu melepaskan pakaian dan menggantungnya di lemari yang terbuat dari kayu jati.
Saya berbaring di ranjang yang sangat besar. Khas ranjang “Indisch”. Rasanya ranjang ini cukup untuk ditiduri oleh seluruh keluarga, karena begitu besarnya. Di atasnya tidak ada selimut maupun “bed cover”. Nampak dua bantal guling berisi kapuk. Akhirnya saya tertidur, walaupun cuaca yang panas sedikit menyulitkan untuk beristirahat. Tiba-tiba saya terbangun oleh sesuatu yang dingin dan geli di wajah. Ohhh…cecak! Rupanya ingin berkenalan dengan saya. Walaupun saya bukan penakut, tapi toh kaget juga melihat binatang asing ini. Nanti setelahnya, kemudian baru saya tahu bahwa binatang ini tidak berbahaya.
Tiba-tiba saya tersadar bahwa sekarang saya sedang ditunggu. Sekarang waktunya makan siang. Saya cepat-cepat berpakaian dan bergegas ke meja makan.
Di atas meja sudah terhidang makanan. Untuk pertama kalinya saya melihat yang dinamakan “rijsttafel”. Oh, rupanya rijsttafel itu adalah sajian nasi dengan banyak sekali lauk pauk lainnya.
Rijsttafel hingga kini sangat digemari banyak orang Belanda.
“Perutmu tidak asing dengan makanan ini? Nasi? Sambal? Coba ini, sambal hati, enak! Ini juga mesti kau coba. Sambal udang! Ini juga ada dendeng dan krupuk!”, tuan rumah menawarkan saya.
Nyonya rumah juga menawarkan, “Perkedel? Kau mesti coba semuanya. Kalau terlalu pedes, tidak usah dimakan. Kami tidak suka makan terlalu pedes. Oh, tunggu dulu!”. Lalu dia berteriak memanggil jongos. “Sidin…! Coba kasih tuan ini ikan. Oh ya, juga ikan kering. Dua-duanya sama enaknya dimakan dengan nasi. Ini ada ayam panggang”.
Sekarang saya mulai mengerti bahwa tawaran makanan “rijsttafel” ternyata bukan tawaran menarik buat saya. Terlalu banyak macamnya. Nasi, ikan, daging cincang, bawang goreng, kol, lombok, serundeng, ayam, telur ikan, sayur rebus, telur asin, ikan merah Makassar, telur mata sapi dan pisang goreng. Rasanya sungguh asing di lidah saya. Sejujurnya, saya mesti berjuang untuk betul-betul menyukai makanan “Indisch” di Hindia Belanda ini.
Saya ingin mencoba semuanya, tapi saya ingin memakan yang paling enak saja. Jadi saya menyendok semua makanan itu ke piring. Dan seperti Belanda totok lainnya, makanan di piring itu saya aduk-aduk, putar-putar, hingga semua jenis makanan itu tercampur merata jadi satu.
Setelah makanan itu semuanya tercampur jadi satu, saya terkejut melihat hasilnya. Mata saya menerawang menatap makanan itu. Saya gemetar, jijik menatap hasil campuran itu. Ternyata saya cuma bisa mengaduknya…..dan belum menelannya!
Tapi orang mesti membiasakan diri terhadap segalanya. Begitu juga saya, kemudian terbiasa makan nasi. Apalagi belakangan saya tahu nasi bisa dimakan dengan berbagai cara. Misalnya disiram saus kerrie dibubuhi sayuran. Sesudah pengalaman pertama makan nasi yang membuat “shock” tadi, akhirnya saya mulai menyukai makan nasi dan lauk pauknya. Kemudian juga saya sudah mulai tahu bagaimana cara makan nasi. Yang utama dimakan adalah nasi-nya, yang lalu divariasikan dengan lauk pauk lainnya.
Biasanya orang langsung berselera jika makanan ditawarkan dalam menu bahasa asing yang keren. Walaupun mereka tidak punya gambaran tentang makanan itu. Jadi mungkin sajian “rijsttafel” itu langsung terdengar sedap jika diberi nama dalam bahasa Perancis. Misalnya, riz au poulet sauté (sambal pete); assaisonné (terasi); riz granulé , crevette au poivre (saus sayur); riz à la vapeur (sambal hati); courenne (perkedel), aux oignons frits aver succulents de canards, bébéq braisé, sambal ketimun, pimenté (sambal setan).
Saya menilai tukang masak “Indisch” memang mahir. Mereka sangat pandai mengolah dan menyajikan makanan menjadi begitu variatif dan kreatif. Yang kelihatan seperti daging sapi muda, ternyata hanyalah daging ayam biasa, dimasak dengan berbagai variasi. Rasanya pun sangat lezat. Daging ayam itu begitu lezatnya, sehingga saya merasa malu dengan pikiran saya sendiri, yang seakan ingin menyembelih ayam setiap melihat ayam-ayam berkeliaran.
Sesudah makan siang, ada siesta atau tidur siang buat seluruh keluarga. Kecuali buat tuan rumah yang malang. Karena dia harus segera melanjutkan pekerjaannya di kantor sampai petang.
Walentina Waluyanti
Nederland, 25 Maret 2010
*) Saduran bebas dari buku Indrukken van een “Totok”, Justus van Maurik, 1897. Beberapa bagian diringkas tanpa mengubah maknanya.
No comments:
Post a Comment