Saturday, December 22, 2012

RANAH MINANG : Bukittinggi, Fort de Kock, Berawal dari Pasar

Parijs van Sumatra adalah sebutan dua kota di Sumatera pada masa kolonial. Di pulau Jawa, Bandung-lah yang mendapat julukan Parijs van Java. Tak lain karena pemandangan nan indah, pegunungan, berkelok-kelok, dan cuaca yang sejuk. Di Pulau Sumatera, Medan (Sumatera Utara) dan Bukittinggi (Sumatera Barat) mendapat julukan seperti tersebut di atas. Kali ini, giliran Parijs van Sumatra yang di Bukittinggi. Kota dengan liukan pegunungan nan elok, pemandangan hijau royo-royo, ngarai, serta Tri Arga (tiga gunung) yaitu Gunung Merapi – gunung tertinggi di Sumatera Barat – Gunung Singgalang, dan Sago.

Sebenarnya tak hanya tiga gunung itu yang mengelilingi Bukittinggi. Tapi ada 27 bukit lain yang membuat Bukittinggi begitu sejuk dan cantik. Istana Negara di kota ini juga dinamakan Tri Arga dan kemudian menjadi Istana Negara Bung Hatta.

Bukittinggi ada di 91 km sebelah utara kota pesisir Padang di mana terdapat Pelabuhan Teluk Bayur dan Bandar Udara Tabing. Untuk menuju ke Bukittinggi yang berada di dataran tinggi, baik jalan raya maupun jalur kereta api harus melalui banyak tanjakan dan tikungan. Belanda sudah membangun jalan raya Padang-Bukittinggi pada 1833 sedangkan jalur kereta api pada 1890. Seperti di Ambarawa, jalur kereta api Padang-Bukittinggi juga mempunya tiga rel karena jalur tersebut menanjak.

Kini, jalur kereta api sudah berganti dengan bus tapi jalur kereta api masih bisa terlihat mengular. Sayangnya semua itu tinggal kenangan.

Tiba di Bukittinggi, siapapun yang terbiasa hidup dengan cuaca Jakarta pasti akan sedikit bergidik. Suhu udara berkisar antara 19-23 derajat Celcius. Sejuk sangat, dengan udara yang masih bersih, langit siang hari yang begitu cerah. Suasana dan cuaca di pagi hari, sekitar pukul 07.30, masih terasa sepi, tenang, nyaman, sejuk. Berbeda dengan Jakarta yang tak pernah berhenti dari kesibukan dengan polusi yang bikin langit Jakarta seakan mendung.

Sebagai Parijs van Sumatra - dengan pemandangan elok, maka wisatawan yang datang ke tempat ini pasti tak akan melewatkan Ngarai Sianok. Decak kagum pastilah keluar dari mulut siapapun yang pertama kali melihat Ngarai Sianok yang berkelok-kelok dengan Sungai Batang Sianok mengalir di dasarnya.

Dalam Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia, Zulqayyim, staf pengajar jurusan sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, menulis tentang “Pembangunan Infrastruktur Kota Bukittinggi Masa Kolonial Belanda”. Dalam tulisan itu ia menyertakan sejarah berdirinya Bukittinggi yang dimulai dari sebuah pasar yang didirikan dan dikelola oleh para penghulu Nagari Kurai.

Pada awalnya pasar, atau orang Minangkabau menyebutnya sebagai pakan, itu hanya dibuka tiap Sabtu, setelah makian ramai, maka ditambah dengan hari Rabu. Karena pasar itu terletak di salah satu bukik nan tatinggi (bukit yang tertinggi) maka kemudian jadilah sebutan Bukittinggi untuk pasar sekaligus Nagari Kurai itu. Nama pasar itu kini menjadi Pasar Atas (Pasar Ateh) dan berada di jantung kota ini.

Dalam referensi lain disebutkan, pasar tersebut berdiri di atas tempat bernama Bukik Kubangan Kabau. Pada tahun 1820 diadakan pertemuan adat suku Kurai untuk mengganti nama Bukik Kubangan Kabau menjadi Bukik Nan Tatinggi. Nama bukik (bukit) yang terakhir itulah yang kemudian menjadi Bukittinggi. Nama Pasar Kurai menjadi Pasar Bukittinggi.

Bagi Belanda, setelah perjanjian Plakat Panjang 1833, menjadikan pusat kegiatan ekonomi Fort de Kock. Nagari Kurai adalah salah satu nagari yang ada di daerah Luhak (kabupaten) Agam dan terdiri atas Lima Jorong. Jauh sebelum kedatangan Belanda di Dataran Tinggi Agam, 1823, Pasar Bukittinggi sudah ramai didatangi penduduk.

Pada sekitar 1825-1826, Kepala Opsir Militer Belanda untuk Dataran Tinggi Agam, Kapten Bauer, mendirikan benteng Fort de Kock di Bukit Jirek – 300 meter sebelah utara Pasar Bukitinggi. Nama Fort de Kock diambil dari nama Komandan Militer dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda Baron Hendrik Markus de Kock. Benteng itu dibangun untuk membantu Kaum Adat menghadapi Kaum Paderi (Agama). Sejak itu pemerintah Hindia Belanda menyebut kawasan itu sebagai Fort de Kock sedangkan warga Minangkabau tetap menyebut Bukittinggi.



Pradaningrum Mijarto
Sumber: http://www1.kompas.com/readkotatua/
http://arkeologi.web.id/articles/mitos-legenda-dan-tutur/1144-bukittinggi-fort-de-kock-berawal-dari-pasar

RANAH MINANG : Menjaga Bung Sjahrir...

Namanya Koto Gadang, terletak di wilayah Kecamatan Koto, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Koto Gadang berarti kota gede. Ada kesamaan yang istimewa dengan Kotagede di Yogyakarta. Dua kawasan ini sama-sama merupakan kawasan budaya yang menyimpan sejarah.

Pusaka sejarah itu adalah rumah-rumah tradisional dengan berbagai corak arsitektur. Sebagaimana di Kotagede, di Koto Gadang warganya pun memiliki industri rumah tangga perhiasan perak.

Pendeknya, sebagaimana Kotagede, Koto Gadang adalah saujana budaya masa silam yang sampai kini praktis masih terjaga. Di situlah tempat Sutan Sjahrir dilahirkan (5 Maret 1909-9 April 1966) dan hidup pada masa kanak-kanaknya. Salah seorang tetua suku Sikumbang, Datuk Narayau Asraful Nazmi, yang merupakan kerabat jauh Sutan Sjahrir, mengatakan, di rumah itulah Sjahrir dibesarkan saudara perempuan ayahnya. Adapun ayahnya yang bernama Moh Rasyad dengan gelar Maharajo Sutan Jaksa Medan tinggal di lingkungan Sikumbang Sariak, Nagari Koto Gadang, yang berjarak sekitar 300 meter dari rumah tempat Sjahrir tinggal kala itu.

Kata Datuk Narayau, ayah Sjahrir yang berasal dari Padang Panjang, Sumbar, tinggal di rumah itu bersama dengan ibu tiri Sjahrir bernama Kamsin, sedangkan ibu kandung Sjahrir, Siti Rabiah, berasal dari Natal, (Kabupaten Mandailing Natal), Tapanuli, Sumatera Utara.

Berdasarkan buku Natal: Ranah Nan Data tulisan Puti Balkis Alisjahbana terbitan Dian Rakyat pada 1996, Sjahrir punya enam saudara sekandung. Sjahrir yang merupakan anak kedua pasangan Siti Rabiah-Moh Rasyad dengan gelar Maharajo Sutan Jaksa Medan punya kakak bernama Siti Sjahrizad dan Sutan Nuralamsjah. Selain itu, ia juga punya adik- adik, yakni Sutan Sjahsam, Mahruzar, Daharsjah, dan Ismail. Sjahrir masih merupakan adik tiri Rohana Kudus, jurnalis perempuan Minang pertama yang kemudian tercatat dalam tinta sejarah bangsa sebagai pembaru kaum perempuan pada zamannya.

Dirawat Meskipun masih berdiri, rumah Sjahrir—Perdana Menteri pertama di Indonesia—ini memang sudah keropos di sana-sini. Rumah panggung terbuat dari papan itu butuh renovasi sebelum akhirnya roboh. ”Saya sendiri sudah kesulitan untuk mengurus surat-surat rumah itu,” kata Ny Upik Sjahrir, salah satu anak Sutan Sjahrir yang kini tinggal di Jakarta. Rumah itu memang bukan rumah Sjahrir, tetapi rumah leluhur. Hal itu tampaknya yang membuat Upik kesulitan melacak surat rumah tersebut.

Karena itu, bagi Upik sekarang, kalau mengunjungi rumah itu, tak lebih sebagai tamu. ”Saya datang ke sana, ya, hanya bisa melihat-lihat saja, sambil berpesan pada yang menempati agar dirawat baik.” Artinya, Upik tak bisa begitu saja menguasai rumah itu meskipun foto-foto Sutan Sjahrir ketika masih muda banyak terpajang di ruang tamu di rumah itu.

Bahkan, ada dua kamar yang terkunci rapat, yang konon di dalamnya berisi barang-barang dan buku-buku milik Sutan Sjahrir. ”Kuncinya di mana sekarang, saya enggak tahu. Saya mengintip juga enggak kelihatan karena pintu terkunci,” kata Supriyadi (36) yang sudah enam bulan mendiami rumah itu. Dia menempati rumah itu atas perintah dari Datuk Narayau. ”Sudah berganti-ganti keluarga yang menempati rumah ini, semuanya, ya, hanya bertugas menunggu,” kata Supriyadi.

Sebagai rumah pusaka atau orang setempat menyebut rumah adat, rumah Sjahrir adalah satu dari 360 rumah lainnya dari Koto Gadang yang selalu dijaga pelestariannya. Rumah- rumah itu umumnya berbentuk panggung yang terbuat dari kayu meranti dan borneo dengan kualitas terjaga. Ruangannya, antara lain, beranda untuk menerima tamu, ruang tengah untuk keluarga, dan sejumlah bilik ruang makan, dapur, dan kamar mandi.

Rumah-rumah adat atau rumah gadang yang sebagian merupakan bagian dari harta pusaka beberapa keluarga atau kaum di wilayah Kanagarian Koto Gadang, hampir semuanya memang ditinggal pemiliknya. Hampir semua rumah antik ini terkunci rapat. Ada yang dijaga seorang warga setempat, tetapi umumnya mereka menempati paviliun yang letaknya berada di belakang rumah induk.

Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Nagari Koto Gadang Hajjah Heratina Mahzar mengatakan, Koto Gadang baru ramai setidaknya dua musim dalam setahun. Pertama, pada musim Tagak Datuak (pengangkatan atau penganugerahan gelar adat) setiap bulan Juli dan saat hari raya Idul Fitri. Di luar dua musim itu, Koto Gadang yang berhawa sejuk dan dihiasi pemandangan nan indah seperti lukisan tanpa bingkai kembali senyap. Terkunci, atau didiami orang-orang yang bahkan tidak terhitung sebagai kerabat dekat.

Heratina mengatakan, dirinya beserta anggota Badan Permusyawaratan Nagari Koto Gadang sangat konsen untuk menjaga dan merehabilitasi rumah-rumah adat di wilayahnya. Rumah gadang yang sempat didiami Sutan Sjahrir telah diperbaiki bagian terasnya, setelah dilanda gempa bumi di Kabupaten Tanah Datar dan Bukittinggi pada tahun 2007.

Menurut Heratina, selama ini biaya perawatan atau perbaikan rumah kuno dan khas ini diambil dari hasil garapan lahan sawah yang jadi harta pusaka keluarga dan dana sumbangan dari para penduduk Koto Gadang yang jadi perantau dan mengirimkan uang. ”Kami tidak mau terbeli dengan dana pemerintah, jangan-jangan malah kami terusir dari rumah kami.”

Sebagaimana disebut Heratina dan juga Datuk Narayau, jiwa perantau yang mendaging dalam warga Koto Gadang, menunjukkan jiwa yang tidak ingin berkonfrontasi, tetapi lebih mengutamakan taktik pemikiran. Kenyataan ini yang kemudian disalahpahami oleh orang lain sehingga muncul anggapan orang Koto Gadang berkooperatif dengan Belanda. Memang ada cerita orang yang bekerja sebagai jongos orang Belanda, tetapi ternyata mereka lebih belajar untuk mandiri.

Namun, orang bisa melihat, apakah orang-orang seperti Sutan Sjahrir dan juga Haji Agus Salim, Rohana Kudus, serta Emil Salim, yang lahir dari kawasan ini, diragukan nasionalismenya? Tampaknya, inilah yang hendak dijaga Heratina dan warga Koto Gadang.

Dalam Karawang-Bekasi, salah satu sajak Chairil Anwar, tersurat kata:

Kenang, kenanglah kami/Teruskan, teruskan jiwa kami/Menjaga Bung Karno/menjaga Bung Hatta/menjaga Bung Sjahrir....
Rasanya, menjaga kehidupan Sjahrir tak hanya mengenang kehadiran putra bangsa pengukir sejarah Indonesia itu, tetapi juga menjaga kampung halamannya yang sarat dengan karya budaya.



Thomas Pudjo Widijanto dan Ingki Rinaldi
Sumber: http://cetak.kompas.com/
 http://arkeologi.web.id/articles/wacana-arkeologi/1018-menjaga-bung-sjahrir-

RANAH MINANG : Jam Gadang, Kini Tanpa Patung Hermes dan Harimau



London boleh bangga punya Big Ben, tapi Bukitinggi boleh lebih berbangga, tak hanya punya Jam Gadang (Jam Besar), tapi juga pemandangan alam yang tak terbandingkan. Tengok saja Ngarai Sianok, dengan Goa/Lubang Jepang-nya. Belum lagi sederet gunung yang melingkari kota ini.

Sebagai tengara kota, Jam Gadang setinggi 26 meter ini dibikin oleh putera Bukittinggi, Yazid Sutan Gigiameh. Dari paparan tim Rehabilitasi Jam Gadang, disebutkan, Jam Gadang dibangun oleh opzichter (arsitek) bernama Yazid Abidin (Angku Acik) yang berasal dari Koto Gadang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam.


Jam yang merupakan hadiah Ratu Belanda kepada Controleur Oud Agam (sekretaris kota), HR Rookmaker, ini dibangun di “bukit tertinggi” (Bukik Nan Tatinggi) dan menghadap ke arah Gunung Merapi. Jam Besar ini didatangkan dari Rotterdam, Belanda, melalui Teluk Bayur (1926). Mesin Jam Gadang hanya ada dua di dunia, satu lagi tak lain adalah Big Ben.

Pada paparan tim, disebutkan pula, bangunan tersebut dibuat tanpa menggunakan besi peyangga dan adukan semen. Campurannya hanya kapur, putih telur, dan pasir putih. Ruangan bawah Jam Gadang pernah dimanfaatkan sebagai loket karcis terminal, pos polisi, dan gudang pada 1970.

Bentuk klokkentoren, menara jam, demikian Jam Gadang disebut dalam literatur Belanda, berbentuk empat persegi dengan jam di masing-masing sisi puncak. Sebetulnya, di zaman Belanda, toren alias menara itu dibangun untuk mengintai gerak-gerik pengikut Imam Bonjol semasa Perang Paderi.

Puncak Jam Gadang mengalami tiga kali perubahan. Semula puncak Jam Gadang dibuat setengah lingkaran seperti kubah masjid. Di atasnya dipasang patung ayam jago, menghadap arah timur, yang sedang berkokok. Sengaja dibikin demikian untuk menyindir masyarakat Agam Tuo yang kesiangan, demikian ditulis Zulqayyim dalam buku “Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia”.

Di zaman Jepang, puncak Jam Gadang berubah lagi. Sesuai selera Jepang. Maka Jam Gadang di zaman Jepang berbentuk atap bertingkat menyerupai Pagoda. Di masa kemerdekaan, atap itu diganti dengan gonjong rumah adat seperti rumah adat Minangkabau.

Di masa awal, di sisi kanan dari taman Jam Gadang ini (berhadapan dengan Jam Gadang sisi depan) terdapat Patung Hermes di atas semacam tiang/tonggak dan juga patung harimau. Namun sudah tak terlacak lagi ke mana kedua patung itu dan kapan mereka hilang.

Dalam pertemuan antara Wakil Rektor Universitas Bung Hatta, Padang, Eko Alvarez, dengan rombongan dari Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) yaitu dewan pimpinannya, Pia Alisjahbana dan Han Awal, serta Direktur Eksekutif BPPI, Catrini Kubontubuh; serta arkeolog Hardini Sukmono, persoalan Hermes juga mengemuka.



Bahkan kemudian dalam acara Sosialisasi Rehabilitasi Jam Gadang di Bukittinggi beberapa waktu lalu, masalah keberadaan kedua patung itu juga diangkat. Namun tentu saja jawabannya tak bisa langsung didapat. Salah satu tetua adat menyatakan, harimau adalah perlambang Agam.

Angka empat pada Jam Gadang yang menggunakan sistem Romawi, juga sering disinggung dengan urusan mistik. Angka empat pada sistem penomoran Romawi harusnya ditulis IV namun pada Jam Gadang, angka empat ditulis IIII. Beberapa sumber menyebutkan, penomoran itu dimungkinkan karena si pembuat tak terlalu paham dengan sistem angka Romawi atau memang sengaja dibikin demikian agar tak membingungkan jika angka-angka itu menghadap ke luar, bukan menghadap ke arah jam (arah dalam). Di luar urusan angka jam, kesahalan tulis seperti itu sering terjadi di belahan dunia manapun, seperti angka 9 yang ditulis VIIII (harusnya IX) atau angka 28 yang ditulis XXIIX (seharusnya XXVIII).

Jam ini masih tetap beroperasi. Dentingnya masih bisa didengar setiap jam. Bahkan kini, dari puncaknya juga akan selalu terdengar suara pengawas mengingatkan warga agar tak membuang sampah sembarangan. Di masa puasa, denting jam ini juga berfungsi sebagai penanda imsak dan berbuka puasa.

Memang, tempat sampah mudah sekali ditemukan di taman sekitar Jam Gadang. Alhasil, taman ini terlihat bersih. Dan tak ada bau pesing di sana. Pasalnya, taman mungil ini juga dilengkapi dengan WC umum. Kini WC umum itu sedang direnovasi.

Saat pertama Jam Gadang dibangun, 1926, lingkungan sekitar tak ketinggalan ikut dihidupkan. Ada terminal bus, bangunan kantor Asisten Residen Afdeeling Padangsche Bovenlanden – kini jadi kompleks Istana Negara Bung Hatta. Di sisi barat, pom bensin, kantor polisi, dan kantor Controleur Oud Agam. Tempat perhentian bendi atau dokar pun disiapkan. Kemudian tak jauh dari perhentian bendi terdapat Loih Galuang serta beberapa loods (los), orang Minangkabau menyebut loih, lain.

Loih Galuang (Los Melengkung) dibangun pada 1890. Los lain juga dibangun untuk pedagang kelontong, kain, juga daging dan ikan. Penataan pasar dilakukan di awal abad 20 oleh Sekretaris Kota Agam Tuo (Controleur Oud Agam) LC Westenenk.

Bukittinggi, kota kelahiran Proklamator RI, Bung Hatta, di masa Jepang, menjadi pusat pengendalian militer untuk kawasan Sumatera. Nama Stadsgemeente Fort de Kock diubah menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho. Di masa perjuangan kemerdekaan, kota ini ditunjuk sebagai Ibu Kota Pemerintahan Darurat RI setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada 1948-1949. Kota ini juga pernah ditetapkan sebagai ibu kota provinsi Sumatera dan Sumatera Tengah.



Pradaningrum Mijarto
Sumber: http://www1.kompas.com/readkotatua/
 http://arkeologi.web.id/articles/arkeologi-kolonial/1143-jam-gadang-kini-tanpa-patung-hermes-dan-harimau

Sunday, December 16, 2012

RANAH MINANG : Masa Lalu di Muaro Batang Arau


 Geo Wehry & Co.
      Pada tahun 1511, Portugis merajalela di selat Malaka. Imperium Aceh lumpuh dibuatnya. Bersamaan dengan itu, kesibukan lalu lintas perdagangan pun tersendat di kawasan yang sangat sibuk itu. Kerakusan Portugis membuat kapal-kapal dagang dari negara-negara Asia dan Eropa tak bisa lewat. Akhirnya, pantai barat yang ombaknya dikenal ganas terpaksa dipilih sebagai jalur alternatif perdagangan dunia. Sepotong pesisir di muara sungai Arau tiba-tiba menjadi persinggahan yang ramai di tepian samudera Indonesia sebelum kapal-kapal dagang melanjutkan pelayaran ke Jawa.
Pelabuhan kecil yang awalnya bernama kampung Batung itu kini bernama kota Padang.


      Setiap kota harus punya hikayat lama. Kota Padang, Sumatera Barat, juga punya sejarah panjang yang jejaknya sudah berlumut di kawasan Muaro, kecamatan Padang Selatan. Di sini, gedung-gedung tua peninggalan Belanda masih berdiri kokoh seperti gerbang masuk menuju pintu masa lalu ibukota Sumatera Barat. Muaro atau yang mereka sebut sebagai Kota Tua Padang itu hanya berjarak sekitar lima kilometer dari pusat kota Padang sekarang. Di sini, atmosfir awal abad 20 langsung terasa. Maklum saja, Muaro pada zaman dahulu adalah kota pelabuhan dan pusat perdagangan di pesisir sebelah barat Sumatera. Posisi sebagai kota pelabuhan itu masih berlangsung hingga kini, meski yang singgah hanya terbatas pada kapal-kapal nelayan dan ferry yang akan berangkat ke pulau Mentawai.
Posisi strategisnya yang berada di muara Batang (sungai) Arau dan berhadapan langsung dengan Laut Indonesia, membuat Belanda sempat memusatkan kekuasaannya untuk wilayah Sumatera di kawasan ini. Mereka mendirikan bangunan pemerintahan, perhubungan, keagamaan, militer dan pendidikan. Padang pun menjadi daerah Cremente. Kota Tua Padang kini menjadi salah satu landmark dan kebanggaan warga Padang karena memiliki ciri khas tersendiri dan sekaligus menjadi sebuah museum terbuka.


      Puluhan bangunan tua yang terbuat dari tembok permanen maupun semi permanen mencirikan kejayaan pada masanya. Bangunan-bangunan itu berjejer di sepanjang jalan Arau, Pasar Batipuh, Pasar Hilir, Pasar Mudik, Pasar Melintang, Niaga, Pulau Air, Pasar Ambacang dan sekitarnya. Sebagian besar gedung kuno yang tersisa sekarang berasal dari akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. Bangunan pada masa sebelum itu habis terbakar dalam tiga kebakaran besar pada tahun 1840, 1861 dan 1897. Begitupun, bangunan yang tersisa menyimpan banyak langgam gaya arsitektur, seperti arsitektur klasik yang hadir sebelum tahun 1910, arsitektur neo-klasik (art deco ornamental) sebelum tahun 1920, arsitektur moderen fungsional (art deco geometrik) sebelum tahun 1935, arsitektur moderen (tropis) Indonesia sebelum tahun 1940 dan arsitektur moderen internasional (art deco streamline) yang hadir sebelum tahun 1940. Karya seni kontemporer Eropa ini hadir di Indonesia bersamaan dengan datangnya Belanda.

Padangsche Spaarbank.
    Gedung-gedung di sebelah kiri Jalan Arau umumnya bangunan milik pemerintah. Misalnya gedung Padangsche Spaarbank (1908) yang sekarang menjadi Hotel Batang Arau. Model arsitektur bangunan ini bergaya neo-klasik yang nyaris sempurna dan megah dengan berbagai unsur yang mungkin terbagus pada masanya. Pilar-pilar kokoh sentuhan artistik menghiasi bagian atap yang berbentuk piramid. Tiga jendela lebar di bagian atas menggunakan kerangka besi.

De Javasche Bank.
     Tak jauh dari sana, berdiri gedung De Javasche Bank. Bangunan yang sekarang dimiliki Bank Indonesia itu sangat anggun dengan arsitektur moderen (tropis) Indonesia. Tentu saja kini banyak bagian dalamnya yang direhab sesuai kebutuhan, namun tetap tidak mengubah tampilannya dari luar. Di seberang gedung De Javasche Bank, persis di samping Jembatan Siti Nurbaya, terdapat kantor Gubernur Belanda yang sekarang dimanfaatkan sebagai kantor Itwilprov Sumbar. Berikutnya adalah Nederlandche Handel-Maatschappij (NHM), perusahaan perdagangan Belanda yang menggantikan VOC (Verenigde Oostindische Compagnie). Perusahaan ini memonopoli perdagangan luar negeri pada akhir abad ke 19 dan kemudian berkembang menjadi lembaga perbankan pada tahun 1930. Tak ada yang menyangka gedung ini bertingkat dua. Bentuk bangunannya dikamuflase sehingga penampakannya dari luar bangunan seolah adalah bangunan beratap tinggi saja. Sekarang gedung ini dijadikan gudang PT. Panca Niaga. Bangunan-bangunan tua yang ada di sekitar kantor Nederlandche Handel-Maatschappiji merupakan gedung perkantoran perusahaan dagang besar milik Belanda, seperti Hautten, Steffan, Guntzel & Schumacher, Veth, Geowehry Jacobson van Den Berg, Tels & Co, Internatio dan sebagainya. Agak ke dalam, bangunan-bangunan umumnya merupakan pemukiman dan model rumah toko (street setlement), rumah ibadah, dan kantor perniagaan. Secara garis besar, modelnya tetap sama. Hanya saja sebagian di antaranya sudah dipengaruhi gaya seni bangunan etnik, baik Cina, India, maupun Melayu. Pengaruh etnik tersebut terlihat pada bagian puncak atau atap bangunan beserta ornamen-ornamen pada dinding, tiang, pintu, jendela maupun ventilasi bangunan. Salah satunya adalah Mesjid Muhammadan di Jalan Pasar Batipuh. Mesjid yang dibangun sekitar akhir abad ke-19 ini dipengaruhi gaya India yang bisa dilihat dari ornamen pada menara tembok di kiri dan kanan mesjid yang berbentuk menara.

Ruko Jalan Pondok
       Sementara, bangunan di sepanjang jalan Niaga kaya dengan ornamen khas Tiongkok (Cina). Di sinilah perkampungan etnis Tionghoa berkembang sampai sekarang. Uniknya, tak satupun bangunan di kawasan Kota Tua Padang ini dipengaruhi gaya Minangkabau yang dikenal khas dengan rumah bergonjong. Kemungkinan hal ini karena pengaruh kekuasaan Aceh pada masa sebelumnya yang melarang rumah bergonjong. Sayangnya, kawasan yang dahulunya pernah ramai dan menjadi cikal-bakal kota Padang ini, kurang terawat. Seputaran Muaro, Pasar Mudik dan Pasar Gadang saat ini hanya difungsikan sebagai gudang saja. Nilai estetikanya kurang diperhatikan. Gedung yang menghitam karena timbunan lumut dibiarkan begitu saja. Seperti fungsi awalnya, Muaro masa kini tetap juga menjadi daerah perniagaan. Aktifitas bongkar-muat menjadi tontotan selingan bersamaan dengan ramainya bangunan kaki lima dan pedagang yang mengambil bagian trotoar jalan, sehingga pejalan kaki terpinggirkan. Sebagai objek wisata, kawasan ini masih berupa potensi. Belum diolah sama sekali. Pemerintah kota Padang sebenarnya telah memetakan Muaro sebagai salah satu dari tiga kawasan wisata yang akan dibangun, meliputi Gunung Padang, Pantai Air Manis dan Muaro. Guna mendukung upaya pelestarian dan renovasi gedung-gedung tersebut, pemerintah pusat melalui Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah sudah memberikan bantuan Rp 1 miliar. Renovasi awal itu menyangkut upaya mengembalikan arsitektur gedung kepada bentuk semula, berikut pengecatan. Selain itu, membangun trotoar untuk pejalan kaki, penanaman pohon pelindung dan pembuatan taman. Targetnya, mengembangkan suasana “Kota Padang Tempo Doeloe” dengan tujuan akhir pengembangan pariwisata. Satu paket dengan upaya tersebut, pelabuhan Muaro akan dikembangkan sebagai pelabuhan Marina, tempat berlabuhnya kapal-kapal wisata dari mancanegara seperti Sidney, Australia, Hawai dan sebagainya. Proses ke arah itu sedang dilakukan dengan melakukan pengerukan dan pelebaran Batang Arau. Sementara kapal-kapal nelayan yang biasa tambat di sana dialihkan ke pelabuhan Bungus, sekitar 20 kilometer dari Muaro. Ide menyangkut konsep wisata terpadu itu memang bukan rencana jangka pendek. Butuh keseriusan dan perencanaan yang matang agar bisa bersinergi dengan kondisi sekarang. Masyarakat masih memandang sepi kandungan sejarah bangunan-bangunan tua, sehingga mereka dengan mudah merubuhkannya dan mendirikan bangunan baru. Sudah banyak bangunan tua yang dirubuhkan. Misalnya lokasi tempat berdirinya Hotel Bumi Minang di Jalan Bundo Kanduang yang sebelumnya merupakan rumah dinas komandan militer Belanda. Demikian juga dengan Hotel Muara di Jalan Gereja yang sebelumnya adalah rumah dinas Gubernur Belanda, Hotel Aceh, dan Hotel Oranye. Untunglah balai kota sebagai pusat pemerintahan kota Padang yang berada di Jalan HM. Yamin masih tetap mempertahankan arsitektur yang sama seperti saat masih menjadi Gedung Gemeente (pemerintahan). Andaikan semuanya ludes, maka kota Padang akan menjadi bagian dari kebuasan terhadap masa lalu. Kepopuleran pelabuhan Muaro sebagai kota pelabuhan internasional sudah dimulai sejak tahun 1511 saat Portugis memblokade selat Malaka setelah menguasai kerajaan Malaka. Blokade itu untuk melumpuhkan kekuasaan Kesultanan Aceh yang sebelumnya mengendalikan aktifitas perdagangan di selat Malaka. Akibatnya kapal dagang dari negara-negara Asia dan sebagian Eropa terpaksa memutar haluan, dan menjadikan kawasan pantai barat Sumatera sebagai penghubung ke laut Jawa melalui perairan Sunda. Pelabuhan Muaro seperti diselamatkan ombak. Mendadak ia ternama sebagai kota pelabuhan karena disinggahi kapal dagang dari Inggris, Perancis dan Cina. Sekitar tahun 1340, daerah ini hanya dikenal sebagai kampung nelayan. Namanya kampung Batung. Kampung ini di bawah sistem pemerintahan nagari yang diperintah Penghulu Delapan Suku. Cikal-bakal masuknya Belanda di Ranah Minang berlangsung dengan kedatangan VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) untuk melakukan transaksi dagang. Belakangan VOC berhasil mengadu-domba masyarakat Minangkabau dan Aceh, sehingga tercipta Perjanjian Painan pada tahun 1633 yang sekaligus mengakhiri kekuasaan Aceh di Minang. Salah satu poin penting perjanjian Painan adalah, tidak mengakui kerajaan Aceh, dan sebaliknya mengakui Raja Minangkabau sebagai penguasa tertinggi dan mengakui VOC sebagai pelindung serta hanya berdagang dengan mereka. Menindaklanjuti perjanjian ini, pada tahun 1667 VOC menjadikan Padang sebagai pusat perwakilan (headquarter) untuk wilayah pesisir barat Sumatera yang ditandai dengan pembangunan benteng pertahanan atau loji. Pembangunan loji ini atas izin penghulu terkemuka, Orang Kayo Kaciak. Loji berbentuk empat segi dengan setiap sisi sepanjang 100 meter dan tinggi enam meter di sekitar Muaro. Penentangan terhadap VOC muncul dari rakyat Minangkabau di Pauh dan Koto Tangah. Mereka membakar loji pada 7 Agustus 1669. Momen inilah kemudian yang ditetapkan sebagai “Hari Jadi Kota Padang”. Setelah berakhirnya masa VOC yang ditutup karena rugi, pada 20 Mei 1784 Belanda secara resmi mengambil alih Padang dan menjadikannya pusat kedudukan dan pusat perniagaan di wilayah Sumatera. Belanda membangun gudang-gudang untuk menumpuk barang sebelum dikapalkan melalui pelabuhan Muara Padang yang berada di muara Batang (sungai) Arau. Kawasan inilah yang merupakan kawasan awal Kota Tua Padang. Batang Arau yang berhulu sekitar 25 kilometer ke pegunungan Bukit Barisan merupakan salah satu dari lima sungai di Padang. Sungai ini sangat penting karena posisinya sangat strategis dibanding Batang Kuranji, Batang Tarung, Batang Tandis dan Batang Lagan. Status sebagai pusat perniagaan kemudian memacu pertumbuhan fisik kota dan semakin berkembang pasca terbangunnya pelabuhan Emma Haven yang sekarang disebut sebagai Teluk Bayur pada abad ke 19. Kota ini lebih melesat lagi setelah ditemukannya tambang batubara di Umbilin, Sawah Lunto/Sijunjung, oleh peneliti Belanda, De Greve. Namun sentra perdagangan tetap di Muaro. *** Sejak lama, kota Padang adalah wilayah persaingan pasar yang sengit. Para pesaing muncul berdasarkan etnis tertentu, hingga akhirnya tumbuh berbagai pusat perdagangan seperti Pasar Gadang, Pasar Mudik, Pasar Batipuh, Pasar Tanah Kongsi, Pasar Jawa dan sebagainya. Pasar pertama di Kota Padang adalah Pasar Gadang yang berada di sisi kanan Batang Arau. Pasar Mudik yang jauh dari situ berdiri kemudian.

Kelenteng See Hion Kiong.
      Lantas pedagang Cina membuat pasar baru dekat Klenteng See Hion Kiong (1861) yang masih berdiri sampai sekarang. Namun sejumlah kebakaran kemudian menghanguskan pasar. Kawasan kota Padang pada masa itu terbagi dalam kelompok-kelompok bangsa. Para penduduk keturunan Cina bermukim di sekitar Pasar Tanah Kongsi yang selanjutnya disebut Kampung Cina. Bagian kota lain didiami pemukim keturunan India, saudagar dari Arabia dan Persia yang kemudian terkenal dengan Kampung Keling. Ada juga Kampung Jawa yang didiami perantau asal Jawa yang konon sudah ada di Minangkabau sejak zaman Majapahit. Agak ke hulu lagi, berdiam warga keturunan Nias, Melayu dan Bugis. Sementara masyarakat Minangkabau asli bermukim agak di belakang lagi. Pada 1 Maret 1906, Padang resmi ditetapkan sebagai daerah Cremente melalui ordonansi yang menetapkan (STAL 1906 No.151) yang berlaku mulai 1 April 1906. Setelah Proklamasi 1945, daerah ini berstatus kotapraja. Pada 9 Maret 1950 Padang dikembalikan ke Indonesia yang masih menjadi negara bagian melalui Surat Keputusan Presiden RI Serikat No. 111. Selanjutnya pada 15 Agustus 1950 Gubernur Sumatera Tengah melalui Surat Keputusan No. 65/GP-50 menetapkan Pemerintahan Kota Padang sebagai suatu daerah otonom, sementara menunggu penetapannya sesuai UU No. 225 tahun 1948. Saat itu kota Padang diperluas, kewedanaan Padang dihapus dan urusannya pindah ke Walikota Padang. Lalu pada 29 Mei 1958 keluar pula Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat No. 1/g/PD/1958 yang menetapkan Kota Padang menjadi ibukota Propinsi Sumatera Barat secara de facto. Baru pada tahun 1975 secara de jure Padang menjadi ibukota Sumatera Barat, ditandai dengan keluarnya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Sebuah kota dengan sepotong sejarah nasional dan internasional. Tapi siapa yang akan memikirkan masa lalunya? teks & foto oleh rasya alfansyuri.

Source : http://www.insidesumatera.com/?open=view&newsid=543&go=Masa-Lalu-di-Muaro-Batang-Arau-

RANAH MINANG : Hotel Batang Arau, Menjual Suasana Masa Silam


 PADANG--Di antara bangunan tua sisa kolonial Belanda di Jalan Batang Arau, Hotel Batang Arau terlihat paling terawat. Gedung kuno dengan arsitektur neokolonial Belanda itu berdiri kokoh dan di belakangnya dilatari hijaunya pepohonan di Gunung Padang.Karena tidak ada papan nama, dari luar tak ada yang mengira bangunan ini sebuah hotel. Di tembok dekat pintu hanya ditorehkan bahwa bangunan yang didirikan 1908 ini pernah menjadi bank pada zaman Belanda.
Sejak 1994, bangunan tua ini telah berganti menjadi hotel dan restoran yang kerap dikunjungi turis asing maupun warga Padang. Tempat ini sudah dikenal di kalangan turis asing sebagai tempat kongkow-kongkow paling asyik sambil menikmati bir di sore hari.
Di bagian depan hotel, di kiri-kanan pintu masuk ada toko souvenir. Di toko berdinding kaca itu dipenuhi kerajinan tangan khas Indonesia,  mulai dari kain Bali, patung kayu Bali, kerajinan perak khas Yogya, kerajian Minang hingga panah Mentawai.
Souvenir ini memang ditujukan untuk  tamu asing yang kebanyakan hanya datang untuk surfing ke Mentawai dan tidak sempat ke tempat-tempat lain di Indonesia. Jadi mereka bisa beli souvenir di sini.
Salah satu yang membuat tamu paling betah dan selalu ingin datang kembali adalah suasana restoran dan hotel yang sangat frendly. Baru saja masuk, sapaan hangat dari Christina Fowler, perempuan Amerika yang mengelola hotel dan restoran ini begitu akrab.


"Selamat datang, silahkan duduk-duduk," katanya ramah. Keramahannya juga diberikan untuk tamu-tamu lainnya. Tamu dibiarkan menikmati suasana seperti di rumah sendiri. Duduk bersantai sambil membaca buku misalnya. Pelayanannya yang luwes jauh dari kesan  pelayanan hotel dan restoran yang biasanya kaku dan formal.
Back to Nature
Sejak 2001, pasangan Christina Fowler dan Chris Scurrah mengelola hotel dan restoran ini. Sebelumnya hotel ini dikelola warga Jerman, Norma Duelfer. Setelah Norma kembali ke Jerman, Cristina dan Chris mengambil alih usaha hotel dan restoran. Chris mengelola bisnis penyewaan kapal travel untuk turis surfing, sementara Christina yang mengelola hotel dan restoran.
Mereka menyulap ruangan hotel dan restoran itu dengan nuansa masa silam. Christina mengaku tidak menerapkan desain khusus pada hotel dan restorannya. "Yang penting saya mau desain yang back to nature, karena ini jenis bangunan lama, jadi ada perpaduan modern dengan lama, mungkin gaya kontemporer," katanya.
Di ruangan dalam ditata beberapa sofa dari rotan berwarna coklat tua dengan alas berwarna hitam dipadu dengan bantal hitam dengan bis merah tua.
Di sudut kanan di belakang pintu masuk ada tempat yang ditinggikan 1 meter berlantai kayu dengan pagar mirip beranda. Di sana ada meja besar yang dikelilingi beberapa kursi rotan dengan bingkai besi berwarna hitam.
Masih di sisi kanan bangunan, menyatu dengan tempat yang ditinggikan, masih ada tempat yang lebih rendah, sekitar setengah meter dari lantai. Ini tempat lesehan dengan tiga meja rendah dari rotan. Di sana ada beberapa bantal untuk duduk. Di depan bale-bale itu ada lemari hias kayu berisi perhiasan untuk dijual.
Jika malam cuaca cerah biasanya pengunjung senang duduk di sana karena udara segar berhembus dari pintu besar. Di bagian belakang sisi kanan bangunan ini ada ruangan dapur.
Sedangkan bagian kiri ruangan ada anjungan setinggi tiga meter. Di ruangan atas tersedia sofa dari rotan, kursi kayu, dan dua tempat tidur untuk dekorasi.
Di ruangan bawah bagian dindingnya dipenuhi kaca-kaca besar memberi kesan memperluas ruangan. Ada televisi 21 inci terletak di rak rendah berisi buku-buku koleksi Christina yang juga bisa dibaca pengunjung. Di depan televisi ada kursi rotan besar.
Di belakangnya ada kursi-kursi tinggi bulat mengelilingi meja, fasilitas internet dan warnet untuk pengunjung. Sedangkan di bagian belakang ada mini bar dengan meja bar sekaligus untuk resepsionis dan kasir.

Di bagian belakang bangunan ada beranda yang cukup luas yang berfungsi sebagai restoran. Tempat ini disukai tamu karena langsung menghadap sungai Batang Arau yang penuh diisi kapal-kapal nelayan dan pesiar. Di seberang sungai ada rumah penduduk dan Gunung Padang.
Di beranda dengan kapasitas 40 tempat duduk angin bertiup cukup untuk menjatuhkan daun-daun beringin tua ke sekitarnya. Suasanya natural sangat terasa dengan pohon-pohon yang menaungi beranda.
Ada delapan meja dan kursi-kursi rotan yang di tata di beranda. Meja itu dibuat dari kayu pohon kelapa atau ruyung.  Serat-serat kayu yang mengkilat itu terlihat jelas dan mempertegas kesan alami yang hendak ditampilkan. Ditambah lagi dengan kursi rotan yang merupakan karya pengrajin Padang.
Di beranda yang bertegel putih itu ditanam bunga kamboja putih dan merah, dilengkapi dengan  beberapa bunga anggrek yang sedang mekar dan berjuntaian dari pokok pohon. Kesan alami ditambah dengan bermacam cangkang binatang laut, kerang-kerangan yang diserakkan di beberapa bagian taman. Kerang-kerang ini dibawa Chris jika pulang dari surfing.
Sore itu, dua meja di beranda dipenuhi turis-turis asing yang bersantai sambil menikmati bir. Ada juga yang menyeruput teh panas atau kopi sambil membaca buku. Selain minuman, restoran ini khusus menyediakan western food seperti hot dog, spageti, pizza, sandwich hingga steak.
Lampu Antik


Keunikan ruangan bawah ini adalah lampu-lampunya yang antik, tergantung di tempat-tempat strategis. Bila malam temaram lampu ini memperkuat kesan alam dan romantis. Apalagi ditambah dengan lilin yang terletak di tempat lilin.

Semua lampu antik ini sengaja dicari Christina di toko antik langganannya di Bukittinggi. Ia tidak tahu pasti barang-barang itu khas daerah mana, tapi semua barang antik khas Indonesia.
"Kami pakai lemari antik, lampu antik buatan Indonesia ditambah gambar-gambar hiasan dinding yang saya bawa dari Amerika, agar tempat ini cukup menyenangkan untuk tempat bersantai," katanya
Untuk memberi sentuhan western di beberapa bagian dinding dihiasi gambar dan foto khas Amerika. Salah satunya ada foto hitam putih Marylin Monrou. Beberapa gambar yang mirip lukisan kontemporer dibingkai dengan kayu kelapa ikut digantungkan di dinding.
Di lantai dua disediakan 4 kamar yang bisa disewa tamu. Kamar tidur itu didesain sederhana dan cantik. Ada dipan kayu yang diberi kelambu dan seperangkat kursi kayu dan lemari antik. Sewa  kamar berkisar Rp350 ribu sampai Rp550, termasuk sarapan.
"Saya desain sederhana karena di sini tidak banyak tamu yan menghabiskan waktu di kamar, mereka lebih senang jalan-jalan ke luar, ngobrol di restoran, tengah malam baru tidur," kata Christina.
Menurut Christina tamu yang datang kebanyakan berasal dari  Australia, Amerika, Nederland, dan Hongaria. Mereka tiba berombongan untuk surfing ke Mentawai. Sebelum berangkat mereka transit di hotelnya dan berangkat ke Mentawai malam hari.
"Jarang ada yang menginap karena di Padang tidak banyak tempat wisata seperti Bukittinggi," kata Christina. Namun begitu, ada juga tamu-tamu asing reguler yang datang ke hotelnya setiap liburan setahun sekali.

Menurut Christina yang paling disukai tamu adalah duduk di beranda restoran. "Apalagi kalau malam hari indah sekali, kami menyalakan lilin, dan tampak rumah-rumah perkampungan di seberang sungai yang diterangi lampu, ada juga kapal-kapal," katanya.
Selain turis asing, tamu lokal pun sudah banyak yang datang ke restorannya. Setiap Rabu, Sabtu dan Minggu adalah  hari-hari sibuknya melani tamu.
Ia pernah berencana membuat restoran dan hotel serupa di salah satu bangunan tua lainnya di Batang Arau. Namun setelah dilihat ternyata bangunan itu sudah tak terawat dan butuh dana yang besar untuk merenofasi. "Sayang sekali, bangunan-bangunan tua itu sebenarnya aset besar untuk wisata, namun dibiarkan tidak terawat," katanya.
Ia merasa sangat enjoy dengan pekerjaanya saat ini. "Bayangkan, saya bisa bergaul dengan banyak orang dari berbagai suku bangsa dan beragam karakter," katanya. (yanti)

(Sekarang Hotel Batang Arau belum beroperasi kembali pasca musibah gempa yang melanda kota Padang dan sekitarnya pada tahun 2009 lalu)

Sumber :
 http://www.padangkini.com/index.php?mod=wisata&id=361    http://www.tripadvisor.co.id/Hotel_Review-g297726-d555897-Reviews-  Hotel_Batang_Arau-Padang_West_Sumatra_Sumatra.html 

Saturday, December 15, 2012

RANAH MINANG : Hotel Padang, Nuansa Klasik Zaman Kolonial Belanda

                                             






Bangunan kuno kolonial Belanda tidak semuanya tak terawat di Kota Padang. Bangunan kuno dengan struktur kokoh yang berada tepat di jantung ibu kota Provinsi Sumbar ini dimanfaatkan menjadi hotel, namanya Hotel Padang. Tak kalah dengan hotel-hotel berbintang, manajemen Hotel Padang meyakinkan konsumennya mendapat pelayanan bagus di hotel ini. Bangunan peninggalan Belanda sejak tahun 1960 disulap menjadi bangunan mewah bergaya klasik dengan nuansa yang khas.

Kehadiran taman-taman dengan hijaunya bunga-bungaan membuat suasana sekitar hotel memberikan kesejukan. Bahkan taman-taman yang memberikan kesegaran mata memandang ini juga hadir di dalam ruangan hotel, terutama di lobi hotel.

Sumber : padang-today, wavepark

Thursday, December 13, 2012

RANAH MINANG : Station te Padang (Stasiun Kereta Api Padang Simpang Haroe Tempo Doeloe)

Stasiun Padang (PD) yang terletak di jalan Stasiunweg (Jln.Stasiun No.1 sekarang) berada di Simpang Haru Padang, Stasiun yang terletak pada ketinggian 8 m dpl ini merupakan stasiun yang terbesar di kota Padang,  Pembangunan stasiun ini sejalan dengan pembangunan jalur Kereta Api dari Kota Padang menuju  Kota Sawahlunto dimulai pada tanggal 6 Juli 1889,  jalur kereta api ini dibangun  bertujuan untuk memperlancar transportasi angkutan batubara dari Sawahlunto ke Pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur), Padang.

Pembangunan jalur Kereta Api dimulai dari jalur dari Pulau Aie (Muaro Padang) - Padangpanjang, diteruskan ke jalur  Padangpanjang - Bukittinggi selesai  1891, Padang Panjang - Solok 1892, kemudian jalur Solok-Muarokalaban,  Padang -Telukbayur 1892. Sedangkan jalur Muarokalaban-Sawahlunto selesai 1 Februari 1894.

                                                                                                          Tahun 1910
                                                                                                           Tahun 1915
                                                                                                          Tahun 1935




Sumber : KITLV, Troppenmuseum

RANAH MINANG : Gemeente Huis Padang (Balaikota Padang Tempo Doeloe)













Gemeente Huis Padang yang berdiri di disisi jalan Raaffweg (Jln.M.Yamin sekarang) berhadapan langsung dengan Plein van Rome (Lapangan Iman Bonjol) adalah sebuah bangunan yang berarsitektur gaya Balai Kota yang ada di Eropa, dengan cirikhas menara jam pada setiap bangunannya, Gemeente Huis ini diarsiteki oleh Ir. Thomas Karsten (Amsterdam 22 April 1884 - Cimahi 1945) seorang arsitek dan perencana wilayah pemukiman dan perkotaan dari Hindia Belanda, mulai dibangun pada tahun 1931 dan selesai tahun 1936 dengan biaya f.120.000.

Burgemeester (Walikota) Padang yang pertama adalah Mr.W.M. Ouwerkkerk dipilih pada tahun 1928, dan memerintah sampai tahun 1940, kemudian digantikan oleh D. Kapteijn sampai masuknya Jepang tahun 1942. Setelah melewati sejarah panjang, keberadaan gedung balaikota adalah salah satu dari sekian banyak gedung peninggalan kolonial Belanda yang masih bertahan keberadaanya sampai sekarang, sementara gedung-gedung lainnya seperti kantor polisi, tangsi/penjara yang ada disebelahnya (Poltabes sekarang), kantor pos (Kantor Pos sekarang), Rumah Bola (Gedung Bagindo Aziz Chan sekarang), kantor telepon (Telkom sekarang) dan bangunan-bangunan penting lainnya disekitar Plein van Rome (Lapangan Iman Bonjol sekarang) hilang tak berbekas dan tergantikan bangunan-bangunan baru.

Gempa yang berulangkali melanda kota Padang, ternyata Gedung Balaikota ini tetap berdiri dengan kokoh, seiring rencana pemindahan pusat pemerintahan kota Padang kekawasan Air Pacah, Padang By Pass, gedung ini akan dijadikan Heritage Museum, yang akan memuat sejarah panjang kota Padang dari masa ke masa.

Sumber : Troppenmuseum, KITLV
 



Wednesday, December 12, 2012

RANAH MINANG : Plein van Rome (Lapangan Iman Bonjol Tempo Doeloe)

Plein van Rome (Lapangan Iman Bonjol tempo dulu), bangunan dibelakang adalah Kantor Telepon Kolonial Belanda, sekarang lapangan ini masih tetap berfungsi sama seperti dulu, sebagai alun-alun kota, taman, ruang terbuka hijau.
Raaff  Monument di Plein van Rome tahun 1938.

Gemeente Huis (Balaikota Padang) di Raaffweg, sebelah kiri foto ini adalah Plein van Rome (Lapangan Iman Bonjol sekarang

Kantor Pos tempo dulu, berdiri di samping tangsi/penjara di jalan Raaffweg (Jln. M.Yamin), dilokasi yang sama masih digunakan sebagai kantor pos, hanya saja dengan gedung yang dibangun baru.
Plein van Rome adalah sebuah lapangan atau alun-alun kota Padang pada zaman kolonial Belanda, lapangan yang juga dilengkapi dengan taman-taman dan patung ini tempat berkumpulnya warga kota, berbagai acara dan keramaian kerap dilakukan di lapangan ini, di sebelah barat Plein van Rome terdapat Jln.Raaffweg (Jln.M.Yamin sekarang), berdiri sebuah bangunan benteng yang berfungsi sebagai tangsi/penjara.
Pada sisi utara Plein van Rome terdapat sebuah pabrik es, toko Belanda yang cukup besar  "Hellfach", hotel pension "Raaffweg" yang buka tahun 1919, dan cafe-restoran "Bergmann".
 
Gedung Batu tertua dikota Padang, yakni Rumah Bola (Societeit "De Eendracht") didirikan pada tahun 1837 oleh Residen Frances, gedung aslinya sudah tidak ada lagi, sekarang ditempat ini berdiri Gedung Pertemuan Bagindo Aziz Chan.
 Disisi timur Lapangan Plein van Rome terdapat sebuah jalan yang bernama "Societeitsweg atau Jalan Rumah Bola (sekarang Jln. Bagindo Aziz Chan), dinamakan jalan rumah bola karena dijalan ini terdapat sebuah rumah bola yang tertua yang pernah ada dikota Padang, membuat rumah bola dimana-mana adalah ciri khas Bangsa Belanda.

  Di sisi selatan Plein van Rome (sekarang Jln.Hasanuddin) dulu ditempati bagian artileri tentara berikut  tangsi dan perumahan bintara, kantor-kantor kotapraja, kemudian dibangun pula kantor telepon.

Sumber : Padang Riwayatmu Dulu, Rusli Amran.
                Tropenmuseum.