Tuesday, October 30, 2012

RANAH MINANG : Mentawai, Koleksi Tropen Museum Belanda








                                                               Sumber : Tropen Museum

Friday, October 26, 2012

RANAH RANTAU : "Masjid Agung Al-Falah Jambi, Masjid Seribu Tiang"

.
Masjid Agung Al Falah adalah masjid terbesar di provinsi Jambi, masjid yang juga dikenal dengan masjid seribu tiang ini (walaupun jumlahnya tidask sampai seribu, tapi cukup untuk menggambarkan banyaknya tiang tiang di dalam masjid ini), disamping itu keunikan dari masjid ini adalah tidak adanya dinding dinding pembatas di ketiga sisi bangunan masjid, dinding hanya ada di sisi mihrab, masjid dengan satu kubah ekstra besar ini juga terdapat satu menara yang tingginya lk. 45m.
Masjid yang terletak di Jalan Sultan Thaha ini bersebelahan dengan menara air PDAM Tirta Mayang peninggalan kolonial Belanda.














RANAH RANTAU : "Menara Air PDAM Benteng Jambi, Peninggalan Kolonial Belanda Yang Masih Tersisa"


Keberadaan bangunan yang menjulang ini begitu menyita perhatian bagi siapa saja yang melewati salah satu jalan protokol kota Jambi, Jln. Slamet Riyadi di Broni, menara air PDAM ini dibangun tahun 1928 oleh Staadfords, lembaga kota zaman kolonial Belanda untuk memenuhi kebutuhan warga kota akan air bersih, sedangkan bahan baku air minum diambil dari Sungai Batanghari yang terletak dibelakang tower ini, daerah yang dulunya dikenal dengan dengan nama Kota Praja, sekarang lebih populer dengan nama Benteng.

Sekarang keberadaan menara air ini sedikit memprihatinkan, sekilas seperti lusuh tak terawat, dari satu menara utama dan dua menara kecil, hanya satu menara kecil yang masih berfungsi dengan baik, sedangkan yang lainnya dibiarkan termakan usia, sebagai salah satu bangunan cagar budaya dikota Jambi, seharusnya bangunan ini bisa menjadi salah satu landmark kota apabila dikelola dengan baik.



Wednesday, October 24, 2012

RANAH MINANG : "Hotel di Minangkabau Tempo Dulu"

Hotel Centrum Fort de Kock 1935.

Hotel Sumatera te Padang 1880.

Hotel Talang te Solok 1900.

Hotel Merapi te Padang Pandjang.

Hotel Orange te Padang 1910.

Park Hotel te Fort de Kock.

Gunung Singgalang dari teras Park Hotel.

Crauys Hotel te Padang 1890.
                                                                                                       http://www.kitlv.nl/

RANAH MINANG : "Rumah Gadang Orang Padang"

Rumah Gadang Orang Padang

Tidak banyak
perhatian orang-orang mengenai ru­mah gadang di Kota Padang. Mungkin
karena bentuk fisik, arsitekturnya, berbeda dengan rumah-rumah gadang di
daerah darek Minangkabau. Sehingga kini, baik masyarakat atau
pemerintah terkesan agak abai akan keberadaan bangunan tersebut.

Umumnya, bangunan tradisi yang berada di daerah pesisir pantai
Minangkabau dipengaruhi oleh tradisi bangunan luar seperti Aceh dan juga
Betawi (di jaman kolonial). Tetapi tradisi bangunan darek pada rumah
pesisiran tersebut tetap menonjol, terutama dalam hal teknologi
pembangunannya.

Hasil penelitian oleh Drs Nas­bahry Couto, M. Sn. dan Ir. Har­maini
Darwis, M. Sc. tentang orfologi bentuk bangunan tradisi Mi­nang­kabau
sebagai refleksi budaya, menunjukkan pola perubahan rumah gadang di
daerah pesisir Minang­kabau, khususnya di Kota Padang, telah melalui
proses panjang. Rumah gadang di Padang disebut juga dengan Kajang
Padati.

Dari gambar-gambar hasil beberapa penelitian rumah tra­disional
Kajang Padati di daerah Pauh, menunjukkan bahwa berbeda dengan darek,
atapnya tidak berben­tuk gonjong. Tata ruangnya juga sudah
diperuntukkan untuk anak laki-laki tinggal di rumah hunian.

Hal ini berbeda dengan bangu­nan darek yang tidak membolehkan anak
laki-laki desa tinggal di rumah gadang. Unsur-unsur luar yang masuk
dapat di lihat dari bentuk tangga yang mirip dengan bentuk tangga Gayo
Aceh, dan juga ukirannnya.

Selain itu, jumlah tiang pada bangunan pesisir umumnya lebih sedikit
dari pada bangunan darek (antara 12-20 tiang). Sedangkan ukiran atau
hiasan bangunan umumnya menampakkan pengaruh Aceh Selatan.

Tapi sayangnya, rumah-rumah gadang di Kota Padang tersebut kini menunggu kepunahan. Dari pan­tauan Haluan
beberapa waktu belakangan di daerah Kuranji, Pauh dan Koto Tangah,
banyak dari rumah tersebut yang menunggu hancur. Sebagian tidak dihuni.
Sebagian lagi dihuni tapi tidak terawat dengan baik akibat pemilik tidak
sanggup melakukan perawa­tan.

Dalam kesejarahan tentang rumah gadang dengan gaya melayu (Aceh) di
Kota Padang, tercatat bahwa arsitektur tersebut termasuk salah satu
monopoli kerajaan Aceh sekitar tahun 1500. Di tahun tersebut juga
terjadi perkawinan putera Minangkabau dengan puteri Aceh . Perkawinan
memburuk sehingga Aceh kecewa dan menye­rang Minangkabau selain itu
juga untuk menguasai sumber komoditas perdagangan tetapi yang dapat
dikuasai hanya pantai barat.

Berujung pada tahun 1607 ketika kekuasaan Aceh memuncak di pesisir
barat. Semasa itu, Raja Aceh adalah Sultan Iskandar Muda. Dalam
mempertahankan kekuasaannya, Aceh tidak hanya bertindak sebagai
pemonopoli perdagangan tetapi ikut campur mengatur dalam hal adat dan
kebudayaan dengan mengeluarkan peraturan. Termasuk salah satu aturannya
berbunyi, bahwa rumah gadang tidak boleh meniru rumah gadang di darek,
tetapi paduan Aceh dengan Minangkabau.

Akan tetapi, selain itu, be­berapa peneliti berpendapat bahwa
perbedaan rumah gadang di daerah dengan daerah pesisir seperti Padang,
karena persoalan topografi wilayah yang tidak memungkinkan membangun
rumah gadang seperti di darek.

Di luar segala perdebatan tentang arsitektur, kini rumah gadang
dengan gaya melayu di Kota Padang, tinggal menunggu hancur atau
dirobohkan dan diganti ba­ngu­nan modern. Lainnya, ko­lektor-kolektor
peminat barang antik atau peminat furnitur antik mengintai untuk membeli
bagian yang akan mereka koleksi. (Esha Tegar Putra)


sumber : haluan