|
Geo Wehry & Co. |
Pada tahun 1511, Portugis merajalela di selat Malaka.
Imperium Aceh lumpuh dibuatnya. Bersamaan dengan itu, kesibukan lalu
lintas perdagangan pun tersendat di kawasan yang sangat sibuk itu.
Kerakusan Portugis membuat kapal-kapal dagang dari negara-negara Asia
dan Eropa tak bisa lewat. Akhirnya, pantai barat yang ombaknya dikenal
ganas terpaksa dipilih sebagai jalur alternatif perdagangan dunia.
Sepotong pesisir di muara sungai Arau tiba-tiba menjadi persinggahan
yang ramai di tepian samudera Indonesia sebelum kapal-kapal dagang
melanjutkan pelayaran ke Jawa.
Pelabuhan kecil yang awalnya bernama
kampung Batung itu kini bernama kota Padang.
Setiap kota harus punya hikayat lama. Kota Padang, Sumatera Barat, juga
punya sejarah panjang yang jejaknya sudah berlumut di kawasan Muaro,
kecamatan Padang Selatan. Di sini, gedung-gedung tua peninggalan Belanda
masih berdiri kokoh seperti gerbang masuk menuju pintu masa lalu
ibukota Sumatera Barat.
Muaro atau yang mereka sebut sebagai Kota Tua Padang itu hanya berjarak
sekitar lima kilometer dari pusat kota Padang sekarang. Di sini,
atmosfir awal abad 20 langsung terasa. Maklum saja, Muaro pada zaman
dahulu adalah kota pelabuhan dan pusat perdagangan di pesisir sebelah
barat Sumatera. Posisi sebagai kota pelabuhan itu masih berlangsung
hingga kini, meski yang singgah hanya terbatas pada kapal-kapal nelayan
dan ferry yang akan berangkat ke pulau Mentawai.
Posisi strategisnya yang berada di muara Batang (sungai) Arau dan
berhadapan langsung dengan Laut Indonesia, membuat Belanda sempat
memusatkan kekuasaannya untuk wilayah Sumatera di kawasan ini. Mereka
mendirikan bangunan pemerintahan, perhubungan, keagamaan, militer dan
pendidikan. Padang pun menjadi daerah Cremente.
Kota Tua Padang kini menjadi salah satu landmark dan kebanggaan warga
Padang karena memiliki ciri khas tersendiri dan sekaligus menjadi sebuah
museum terbuka.
Puluhan bangunan tua yang terbuat dari tembok permanen
maupun semi permanen mencirikan kejayaan pada masanya. Bangunan-bangunan
itu berjejer di sepanjang jalan Arau, Pasar Batipuh, Pasar Hilir, Pasar
Mudik, Pasar Melintang, Niaga, Pulau Air, Pasar Ambacang dan
sekitarnya.
Sebagian besar gedung kuno yang tersisa sekarang berasal dari akhir abad
ke 19 dan awal abad ke 20. Bangunan pada masa sebelum itu habis
terbakar dalam tiga kebakaran besar pada tahun 1840, 1861 dan 1897.
Begitupun, bangunan yang tersisa menyimpan banyak langgam gaya
arsitektur, seperti arsitektur klasik yang hadir sebelum tahun 1910,
arsitektur neo-klasik (art deco ornamental) sebelum tahun 1920,
arsitektur moderen fungsional (art deco geometrik) sebelum tahun 1935,
arsitektur moderen (tropis) Indonesia sebelum tahun 1940 dan arsitektur
moderen internasional (art deco streamline) yang hadir sebelum tahun
1940. Karya seni kontemporer Eropa ini hadir di Indonesia bersamaan
dengan datangnya Belanda.
|
Padangsche Spaarbank. |
Gedung-gedung di sebelah kiri Jalan Arau umumnya bangunan milik
pemerintah. Misalnya gedung Padangsche Spaarbank (1908) yang sekarang
menjadi Hotel Batang Arau. Model arsitektur bangunan ini bergaya
neo-klasik yang nyaris sempurna dan megah dengan berbagai unsur yang
mungkin terbagus pada masanya. Pilar-pilar kokoh sentuhan artistik
menghiasi bagian atap yang berbentuk piramid. Tiga jendela lebar di
bagian atas menggunakan kerangka besi.
|
De Javasche Bank. |
Tak jauh dari sana, berdiri gedung De Javasche Bank. Bangunan yang
sekarang dimiliki Bank Indonesia itu sangat anggun dengan arsitektur
moderen (tropis) Indonesia. Tentu saja kini banyak bagian dalamnya yang
direhab sesuai kebutuhan, namun tetap tidak mengubah tampilannya dari
luar.
Di seberang gedung De Javasche Bank, persis di samping Jembatan Siti
Nurbaya, terdapat kantor Gubernur Belanda yang sekarang dimanfaatkan
sebagai kantor Itwilprov Sumbar. Berikutnya adalah Nederlandche
Handel-Maatschappij (NHM), perusahaan perdagangan Belanda yang
menggantikan VOC (Verenigde Oostindische Compagnie). Perusahaan ini
memonopoli perdagangan luar negeri pada akhir abad ke 19 dan kemudian
berkembang menjadi lembaga perbankan pada tahun 1930. Tak ada yang
menyangka gedung ini bertingkat dua. Bentuk bangunannya dikamuflase
sehingga penampakannya dari luar bangunan seolah adalah bangunan beratap
tinggi saja. Sekarang gedung ini dijadikan gudang PT. Panca Niaga.
Bangunan-bangunan tua yang ada di sekitar kantor Nederlandche
Handel-Maatschappiji merupakan gedung perkantoran perusahaan dagang
besar milik Belanda, seperti Hautten, Steffan, Guntzel & Schumacher,
Veth, Geowehry Jacobson van Den Berg, Tels & Co, Internatio dan
sebagainya.
Agak ke dalam, bangunan-bangunan umumnya merupakan pemukiman dan model
rumah toko (street setlement), rumah ibadah, dan kantor perniagaan.
Secara garis besar, modelnya tetap sama. Hanya saja sebagian di
antaranya sudah dipengaruhi gaya seni bangunan etnik, baik Cina, India,
maupun Melayu.
Pengaruh etnik tersebut terlihat pada bagian puncak atau atap bangunan
beserta ornamen-ornamen pada dinding, tiang, pintu, jendela maupun
ventilasi bangunan. Salah satunya adalah Mesjid Muhammadan di Jalan
Pasar Batipuh. Mesjid yang dibangun sekitar akhir abad ke-19 ini
dipengaruhi gaya India yang bisa dilihat dari ornamen pada menara tembok
di kiri dan kanan mesjid yang berbentuk menara.
|
Ruko Jalan Pondok |
Sementara, bangunan di sepanjang jalan Niaga kaya dengan ornamen khas
Tiongkok (Cina). Di sinilah perkampungan etnis Tionghoa berkembang
sampai sekarang. Uniknya, tak satupun bangunan di kawasan Kota Tua
Padang ini dipengaruhi gaya Minangkabau yang dikenal khas dengan rumah
bergonjong. Kemungkinan hal ini karena pengaruh kekuasaan Aceh pada masa
sebelumnya yang melarang rumah bergonjong.
Sayangnya, kawasan yang dahulunya pernah ramai dan menjadi cikal-bakal
kota Padang ini, kurang terawat. Seputaran Muaro, Pasar Mudik dan Pasar
Gadang saat ini hanya difungsikan sebagai gudang saja. Nilai estetikanya
kurang diperhatikan. Gedung yang menghitam karena timbunan lumut
dibiarkan begitu saja.
Seperti fungsi awalnya, Muaro masa kini tetap juga menjadi daerah
perniagaan. Aktifitas bongkar-muat menjadi tontotan selingan bersamaan
dengan ramainya bangunan kaki lima dan pedagang yang mengambil bagian
trotoar jalan, sehingga pejalan kaki terpinggirkan. Sebagai objek
wisata, kawasan ini masih berupa potensi. Belum diolah sama sekali.
Pemerintah kota Padang sebenarnya telah memetakan Muaro sebagai salah
satu dari tiga kawasan wisata yang akan dibangun, meliputi Gunung
Padang, Pantai Air Manis dan Muaro. Guna mendukung upaya pelestarian dan
renovasi gedung-gedung tersebut, pemerintah pusat melalui Departemen
Pemukiman dan Prasarana Wilayah sudah memberikan bantuan Rp 1 miliar.
Renovasi awal itu menyangkut upaya mengembalikan arsitektur gedung
kepada bentuk semula, berikut pengecatan. Selain itu, membangun trotoar
untuk pejalan kaki, penanaman pohon pelindung dan pembuatan taman.
Targetnya, mengembangkan suasana “Kota Padang Tempo Doeloe” dengan
tujuan akhir pengembangan pariwisata.
Satu paket dengan upaya tersebut, pelabuhan Muaro akan dikembangkan
sebagai pelabuhan Marina, tempat berlabuhnya kapal-kapal wisata dari
mancanegara seperti Sidney, Australia, Hawai dan sebagainya. Proses ke
arah itu sedang dilakukan dengan melakukan pengerukan dan pelebaran
Batang Arau. Sementara kapal-kapal nelayan yang biasa tambat di sana
dialihkan ke pelabuhan Bungus, sekitar 20 kilometer dari Muaro.
Ide menyangkut konsep wisata terpadu itu memang bukan rencana jangka
pendek. Butuh keseriusan dan perencanaan yang matang agar bisa
bersinergi dengan kondisi sekarang. Masyarakat masih memandang sepi
kandungan sejarah bangunan-bangunan tua, sehingga mereka dengan mudah
merubuhkannya dan mendirikan bangunan baru.
Sudah banyak bangunan tua yang dirubuhkan. Misalnya lokasi tempat
berdirinya Hotel Bumi Minang di Jalan Bundo Kanduang yang sebelumnya
merupakan rumah dinas komandan militer Belanda. Demikian juga dengan
Hotel Muara di Jalan Gereja yang sebelumnya adalah rumah dinas Gubernur
Belanda, Hotel Aceh, dan Hotel Oranye.
Untunglah balai kota sebagai pusat pemerintahan kota Padang yang berada
di Jalan HM. Yamin masih tetap mempertahankan arsitektur yang sama
seperti saat masih menjadi Gedung Gemeente (pemerintahan). Andaikan
semuanya ludes, maka kota Padang akan menjadi bagian dari kebuasan
terhadap masa lalu.
Kepopuleran pelabuhan Muaro sebagai kota pelabuhan internasional sudah
dimulai sejak tahun 1511 saat Portugis memblokade selat Malaka setelah
menguasai kerajaan Malaka. Blokade itu untuk melumpuhkan kekuasaan
Kesultanan Aceh yang sebelumnya mengendalikan aktifitas perdagangan di
selat Malaka. Akibatnya kapal dagang dari negara-negara Asia dan
sebagian Eropa terpaksa memutar haluan, dan menjadikan kawasan pantai
barat Sumatera sebagai penghubung ke laut Jawa melalui perairan Sunda.
Pelabuhan Muaro seperti diselamatkan ombak. Mendadak ia ternama sebagai
kota pelabuhan karena disinggahi kapal dagang dari Inggris, Perancis dan
Cina. Sekitar tahun 1340, daerah ini hanya dikenal sebagai kampung
nelayan. Namanya kampung Batung. Kampung ini di bawah sistem
pemerintahan nagari yang diperintah Penghulu Delapan Suku.
Cikal-bakal masuknya Belanda di Ranah Minang berlangsung dengan
kedatangan VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) untuk melakukan
transaksi dagang. Belakangan VOC berhasil mengadu-domba masyarakat
Minangkabau dan Aceh, sehingga tercipta Perjanjian Painan pada tahun
1633 yang sekaligus mengakhiri kekuasaan Aceh di Minang. Salah satu poin
penting perjanjian Painan adalah, tidak mengakui kerajaan Aceh, dan
sebaliknya mengakui Raja Minangkabau sebagai penguasa tertinggi dan
mengakui VOC sebagai pelindung serta hanya berdagang dengan mereka.
Menindaklanjuti perjanjian ini, pada tahun 1667 VOC menjadikan Padang
sebagai pusat perwakilan (headquarter) untuk wilayah pesisir barat
Sumatera yang ditandai dengan pembangunan benteng pertahanan atau loji.
Pembangunan loji ini atas izin penghulu terkemuka, Orang Kayo Kaciak.
Loji berbentuk empat segi dengan setiap sisi sepanjang 100 meter dan
tinggi enam meter di sekitar Muaro.
Penentangan terhadap VOC muncul dari rakyat Minangkabau di Pauh dan Koto
Tangah. Mereka membakar loji pada 7 Agustus 1669. Momen inilah kemudian
yang ditetapkan sebagai “Hari Jadi Kota Padang”.
Setelah berakhirnya masa VOC yang ditutup karena rugi, pada 20 Mei 1784
Belanda secara resmi mengambil alih Padang dan menjadikannya pusat
kedudukan dan pusat perniagaan di wilayah Sumatera. Belanda membangun
gudang-gudang untuk menumpuk barang sebelum dikapalkan melalui pelabuhan
Muara Padang yang berada di muara Batang (sungai) Arau. Kawasan inilah
yang merupakan kawasan awal Kota Tua Padang. Batang Arau yang berhulu
sekitar 25 kilometer ke pegunungan Bukit Barisan merupakan salah satu
dari lima sungai di Padang. Sungai ini sangat penting karena posisinya
sangat strategis dibanding Batang Kuranji, Batang Tarung, Batang Tandis
dan Batang Lagan.
Status sebagai pusat perniagaan kemudian memacu pertumbuhan fisik kota
dan semakin berkembang pasca terbangunnya pelabuhan Emma Haven yang
sekarang disebut sebagai Teluk Bayur pada abad ke 19. Kota ini lebih
melesat lagi setelah ditemukannya tambang batubara di Umbilin, Sawah
Lunto/Sijunjung, oleh peneliti Belanda, De Greve. Namun sentra
perdagangan tetap di Muaro.
***
Sejak lama, kota Padang adalah wilayah persaingan pasar yang sengit.
Para pesaing muncul berdasarkan etnis tertentu, hingga akhirnya tumbuh
berbagai pusat perdagangan seperti Pasar Gadang, Pasar Mudik, Pasar
Batipuh, Pasar Tanah Kongsi, Pasar Jawa dan sebagainya. Pasar pertama di
Kota Padang adalah Pasar Gadang yang berada di sisi kanan Batang Arau.
Pasar Mudik yang jauh dari situ berdiri kemudian.
|
Kelenteng See Hion Kiong. |
Lantas pedagang Cina
membuat pasar baru dekat Klenteng See Hion Kiong (1861) yang masih
berdiri sampai sekarang. Namun sejumlah kebakaran kemudian menghanguskan
pasar.
Kawasan kota Padang pada masa itu terbagi dalam kelompok-kelompok
bangsa. Para penduduk keturunan Cina bermukim di sekitar Pasar Tanah
Kongsi yang selanjutnya disebut Kampung Cina. Bagian kota lain didiami
pemukim keturunan India, saudagar dari Arabia dan Persia yang kemudian
terkenal dengan Kampung Keling. Ada juga Kampung Jawa yang didiami
perantau asal Jawa yang konon sudah ada di Minangkabau sejak zaman
Majapahit. Agak ke hulu lagi, berdiam warga keturunan Nias, Melayu dan
Bugis. Sementara masyarakat Minangkabau asli bermukim agak di belakang
lagi.
Pada 1 Maret 1906, Padang resmi ditetapkan sebagai daerah Cremente
melalui ordonansi yang menetapkan (STAL 1906 No.151) yang berlaku mulai 1
April 1906. Setelah Proklamasi 1945, daerah ini berstatus kotapraja.
Pada 9 Maret 1950 Padang dikembalikan ke Indonesia yang masih menjadi
negara bagian melalui Surat Keputusan Presiden RI Serikat No. 111.
Selanjutnya pada 15 Agustus 1950 Gubernur Sumatera Tengah melalui Surat
Keputusan No. 65/GP-50 menetapkan Pemerintahan Kota Padang sebagai suatu
daerah otonom, sementara menunggu penetapannya sesuai UU No. 225 tahun
1948. Saat itu kota Padang diperluas, kewedanaan Padang dihapus dan
urusannya pindah ke Walikota Padang.
Lalu pada 29 Mei 1958 keluar pula Surat Keputusan Gubernur Sumatera
Barat No. 1/g/PD/1958 yang menetapkan Kota Padang menjadi ibukota
Propinsi Sumatera Barat secara de facto. Baru pada tahun 1975 secara de
jure Padang menjadi ibukota Sumatera Barat, ditandai dengan keluarnya UU
No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Sebuah
kota dengan sepotong sejarah nasional dan internasional. Tapi siapa yang
akan memikirkan masa lalunya?
teks & foto oleh rasya alfansyuri.
Source :
http://www.insidesumatera.com/?open=view&newsid=543&go=Masa-Lalu-di-Muaro-Batang-Arau-
No comments:
Post a Comment