Sebagai tengara kota, Jam Gadang setinggi 26 meter ini dibikin oleh putera Bukittinggi, Yazid Sutan Gigiameh. Dari paparan tim Rehabilitasi Jam Gadang, disebutkan, Jam Gadang dibangun oleh opzichter (arsitek) bernama Yazid Abidin (Angku Acik) yang berasal dari Koto Gadang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam.
Jam yang merupakan hadiah Ratu Belanda kepada Controleur Oud Agam (sekretaris kota), HR Rookmaker, ini dibangun di “bukit tertinggi” (Bukik Nan Tatinggi) dan menghadap ke arah Gunung Merapi. Jam Besar ini didatangkan dari Rotterdam, Belanda, melalui Teluk Bayur (1926). Mesin Jam Gadang hanya ada dua di dunia, satu lagi tak lain adalah Big Ben.
Pada paparan tim, disebutkan pula, bangunan tersebut dibuat tanpa menggunakan besi peyangga dan adukan semen. Campurannya hanya kapur, putih telur, dan pasir putih. Ruangan bawah Jam Gadang pernah dimanfaatkan sebagai loket karcis terminal, pos polisi, dan gudang pada 1970.
Bentuk klokkentoren, menara jam, demikian Jam Gadang disebut dalam literatur Belanda, berbentuk empat persegi dengan jam di masing-masing sisi puncak. Sebetulnya, di zaman Belanda, toren alias menara itu dibangun untuk mengintai gerak-gerik pengikut Imam Bonjol semasa Perang Paderi.
Puncak Jam Gadang mengalami tiga kali perubahan. Semula puncak Jam Gadang dibuat setengah lingkaran seperti kubah masjid. Di atasnya dipasang patung ayam jago, menghadap arah timur, yang sedang berkokok. Sengaja dibikin demikian untuk menyindir masyarakat Agam Tuo yang kesiangan, demikian ditulis Zulqayyim dalam buku “Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia”.
Di zaman Jepang, puncak Jam Gadang berubah lagi. Sesuai selera Jepang. Maka Jam Gadang di zaman Jepang berbentuk atap bertingkat menyerupai Pagoda. Di masa kemerdekaan, atap itu diganti dengan gonjong rumah adat seperti rumah adat Minangkabau.
Di masa awal, di sisi kanan dari taman Jam Gadang ini (berhadapan dengan Jam Gadang sisi depan) terdapat Patung Hermes di atas semacam tiang/tonggak dan juga patung harimau. Namun sudah tak terlacak lagi ke mana kedua patung itu dan kapan mereka hilang.
Dalam pertemuan antara Wakil Rektor Universitas Bung Hatta, Padang, Eko Alvarez, dengan rombongan dari Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) yaitu dewan pimpinannya, Pia Alisjahbana dan Han Awal, serta Direktur Eksekutif BPPI, Catrini Kubontubuh; serta arkeolog Hardini Sukmono, persoalan Hermes juga mengemuka.
Bahkan kemudian dalam acara Sosialisasi Rehabilitasi Jam Gadang di Bukittinggi beberapa waktu lalu, masalah keberadaan kedua patung itu juga diangkat. Namun tentu saja jawabannya tak bisa langsung didapat. Salah satu tetua adat menyatakan, harimau adalah perlambang Agam.
Angka empat pada Jam Gadang yang menggunakan sistem Romawi, juga sering disinggung dengan urusan mistik. Angka empat pada sistem penomoran Romawi harusnya ditulis IV namun pada Jam Gadang, angka empat ditulis IIII. Beberapa sumber menyebutkan, penomoran itu dimungkinkan karena si pembuat tak terlalu paham dengan sistem angka Romawi atau memang sengaja dibikin demikian agar tak membingungkan jika angka-angka itu menghadap ke luar, bukan menghadap ke arah jam (arah dalam). Di luar urusan angka jam, kesahalan tulis seperti itu sering terjadi di belahan dunia manapun, seperti angka 9 yang ditulis VIIII (harusnya IX) atau angka 28 yang ditulis XXIIX (seharusnya XXVIII).
Jam ini masih tetap beroperasi. Dentingnya masih bisa didengar setiap jam. Bahkan kini, dari puncaknya juga akan selalu terdengar suara pengawas mengingatkan warga agar tak membuang sampah sembarangan. Di masa puasa, denting jam ini juga berfungsi sebagai penanda imsak dan berbuka puasa.
Memang, tempat sampah mudah sekali ditemukan di taman sekitar Jam Gadang. Alhasil, taman ini terlihat bersih. Dan tak ada bau pesing di sana. Pasalnya, taman mungil ini juga dilengkapi dengan WC umum. Kini WC umum itu sedang direnovasi.
Saat pertama Jam Gadang dibangun, 1926, lingkungan sekitar tak ketinggalan ikut dihidupkan. Ada terminal bus, bangunan kantor Asisten Residen Afdeeling Padangsche Bovenlanden – kini jadi kompleks Istana Negara Bung Hatta. Di sisi barat, pom bensin, kantor polisi, dan kantor Controleur Oud Agam. Tempat perhentian bendi atau dokar pun disiapkan. Kemudian tak jauh dari perhentian bendi terdapat Loih Galuang serta beberapa loods (los), orang Minangkabau menyebut loih, lain.
Loih Galuang (Los Melengkung) dibangun pada 1890. Los lain juga dibangun untuk pedagang kelontong, kain, juga daging dan ikan. Penataan pasar dilakukan di awal abad 20 oleh Sekretaris Kota Agam Tuo (Controleur Oud Agam) LC Westenenk.
Bukittinggi, kota kelahiran Proklamator RI, Bung Hatta, di masa Jepang, menjadi pusat pengendalian militer untuk kawasan Sumatera. Nama Stadsgemeente Fort de Kock diubah menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho. Di masa perjuangan kemerdekaan, kota ini ditunjuk sebagai Ibu Kota Pemerintahan Darurat RI setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada 1948-1949. Kota ini juga pernah ditetapkan sebagai ibu kota provinsi Sumatera dan Sumatera Tengah.
Pradaningrum Mijarto
Sumber: http://www1.kompas.com/readkotatua/
http://arkeologi.web.id/articles/arkeologi-kolonial/1143-jam-gadang-kini-tanpa-patung-hermes-dan-harimau
No comments:
Post a Comment