PADANG--Di antara bangunan tua sisa kolonial
Belanda di Jalan Batang Arau, Hotel Batang Arau terlihat paling terawat.
Gedung kuno dengan arsitektur neokolonial Belanda itu berdiri kokoh dan
di belakangnya dilatari hijaunya pepohonan di Gunung Padang.Karena tidak ada papan nama, dari luar tak ada yang mengira bangunan
ini sebuah hotel. Di tembok dekat pintu hanya ditorehkan bahwa bangunan
yang didirikan 1908 ini pernah menjadi bank pada zaman Belanda.
Sejak 1994, bangunan tua ini telah berganti menjadi hotel dan
restoran yang kerap dikunjungi turis asing maupun warga Padang. Tempat
ini sudah dikenal di kalangan turis asing sebagai tempat kongkow-kongkow
paling asyik sambil menikmati bir di sore hari.
Di bagian depan hotel, di kiri-kanan pintu masuk ada toko souvenir.
Di toko berdinding kaca itu dipenuhi kerajinan tangan khas Indonesia,
mulai dari kain Bali, patung kayu Bali, kerajinan perak khas Yogya, kerajian Minang hingga panah Mentawai.
Souvenir ini memang ditujukan untuk tamu asing yang kebanyakan hanya
datang untuk surfing ke Mentawai dan tidak sempat ke tempat-tempat lain
di Indonesia. Jadi mereka bisa beli souvenir di sini.
Salah satu yang membuat tamu paling betah dan selalu ingin datang kembali adalah suasana restoran dan hotel yang sangat
frendly. Baru saja masuk, sapaan hangat dari Christina Fowler, perempuan Amerika yang mengelola hotel dan restoran ini begitu akrab.
"Selamat datang, silahkan duduk-duduk," katanya ramah. Keramahannya
juga diberikan untuk tamu-tamu lainnya. Tamu dibiarkan menikmati suasana
seperti di rumah sendiri. Duduk bersantai sambil membaca buku misalnya.
Pelayanannya yang luwes jauh dari kesan pelayanan hotel dan restoran
yang biasanya kaku dan formal.
Back to Nature
Sejak 2001, pasangan Christina Fowler dan Chris Scurrah mengelola
hotel dan restoran ini. Sebelumnya hotel ini dikelola warga Jerman,
Norma Duelfer. Setelah Norma kembali ke Jerman, Cristina dan Chris
mengambil alih usaha hotel dan restoran. Chris mengelola bisnis
penyewaan kapal travel untuk turis surfing, sementara Christina yang
mengelola hotel dan restoran.
Mereka menyulap ruangan hotel dan restoran itu dengan nuansa masa
silam. Christina mengaku tidak menerapkan desain khusus pada hotel dan
restorannya. "Yang penting saya mau desain yang
back to nature, karena ini jenis bangunan lama, jadi ada perpaduan modern dengan lama, mungkin gaya kontemporer," katanya.
Di ruangan dalam ditata beberapa sofa dari rotan berwarna coklat tua
dengan alas berwarna hitam dipadu dengan bantal hitam dengan bis merah
tua.
Di sudut kanan di belakang pintu masuk ada tempat yang ditinggikan 1
meter berlantai kayu dengan pagar mirip beranda. Di sana ada meja besar
yang dikelilingi beberapa kursi rotan dengan bingkai besi berwarna
hitam.
Masih di sisi kanan bangunan, menyatu dengan tempat yang ditinggikan,
masih ada tempat yang lebih rendah, sekitar setengah meter dari lantai.
Ini tempat lesehan dengan tiga meja rendah dari rotan. Di sana ada
beberapa bantal untuk duduk. Di depan bale-bale itu ada lemari hias kayu
berisi perhiasan untuk dijual.
Jika malam cuaca cerah biasanya pengunjung senang duduk di sana
karena udara segar berhembus dari pintu besar. Di bagian belakang sisi
kanan bangunan ini ada ruangan dapur.
Sedangkan bagian kiri ruangan ada anjungan setinggi tiga meter. Di
ruangan atas tersedia sofa dari rotan, kursi kayu, dan dua tempat tidur
untuk dekorasi.
Di ruangan bawah bagian dindingnya dipenuhi kaca-kaca besar memberi
kesan memperluas ruangan. Ada televisi 21 inci terletak di rak rendah
berisi buku-buku koleksi Christina yang juga bisa dibaca pengunjung. Di
depan televisi ada kursi rotan besar.
Di belakangnya ada kursi-kursi tinggi bulat mengelilingi meja,
fasilitas internet dan warnet untuk pengunjung. Sedangkan di bagian
belakang ada mini bar dengan meja bar sekaligus untuk resepsionis dan
kasir.
Di bagian belakang bangunan ada beranda yang cukup luas yang
berfungsi sebagai restoran. Tempat ini disukai tamu karena langsung
menghadap sungai Batang Arau yang penuh diisi kapal-kapal nelayan dan
pesiar. Di seberang sungai ada rumah penduduk dan Gunung Padang.
Di beranda dengan kapasitas 40 tempat duduk angin bertiup cukup untuk
menjatuhkan daun-daun beringin tua ke sekitarnya. Suasanya natural
sangat terasa dengan pohon-pohon yang menaungi beranda.
Ada delapan meja dan kursi-kursi rotan yang di tata di beranda. Meja
itu dibuat dari kayu pohon kelapa atau ruyung. Serat-serat kayu yang
mengkilat itu terlihat jelas dan mempertegas kesan alami yang hendak
ditampilkan. Ditambah lagi dengan kursi rotan yang merupakan karya
pengrajin Padang.
Di beranda yang bertegel putih itu ditanam bunga kamboja putih dan
merah, dilengkapi dengan beberapa bunga anggrek yang sedang mekar dan
berjuntaian dari pokok pohon. Kesan alami ditambah dengan bermacam
cangkang binatang laut, kerang-kerangan yang diserakkan di beberapa
bagian taman. Kerang-kerang ini dibawa Chris jika pulang dari surfing.
Sore itu, dua meja di beranda dipenuhi turis-turis asing yang
bersantai sambil menikmati bir. Ada juga yang menyeruput teh panas atau
kopi sambil membaca buku. Selain minuman, restoran ini khusus
menyediakan
western food seperti hot dog, spageti, pizza, sandwich hingga steak.
Lampu Antik
Keunikan ruangan bawah ini adalah lampu-lampunya yang antik,
tergantung di tempat-tempat strategis. Bila malam temaram lampu ini
memperkuat kesan alam dan romantis. Apalagi ditambah dengan lilin yang
terletak di tempat lilin.
Semua lampu antik ini sengaja dicari Christina di toko antik
langganannya di Bukittinggi. Ia tidak tahu pasti barang-barang itu khas
daerah mana, tapi semua barang antik khas Indonesia.
"Kami pakai lemari antik, lampu antik buatan Indonesia ditambah
gambar-gambar hiasan dinding yang saya bawa dari Amerika, agar tempat
ini cukup menyenangkan untuk tempat bersantai," katanya
Untuk memberi sentuhan
western di beberapa bagian dinding
dihiasi gambar dan foto khas Amerika. Salah satunya ada foto hitam putih
Marylin Monrou. Beberapa gambar yang mirip lukisan kontemporer
dibingkai dengan kayu kelapa ikut digantungkan di dinding.
Di lantai dua disediakan 4 kamar yang bisa disewa tamu. Kamar tidur
itu didesain sederhana dan cantik. Ada dipan kayu yang diberi kelambu
dan seperangkat kursi kayu dan lemari antik. Sewa kamar berkisar Rp350
ribu sampai Rp550, termasuk sarapan.
"Saya desain sederhana karena di sini tidak banyak tamu yan
menghabiskan waktu di kamar, mereka lebih senang jalan-jalan ke luar,
ngobrol di restoran, tengah malam baru tidur," kata Christina.
Menurut Christina tamu yang datang kebanyakan berasal dari
Australia, Amerika, Nederland, dan Hongaria. Mereka tiba berombongan
untuk surfing ke Mentawai. Sebelum berangkat mereka transit di hotelnya
dan berangkat ke Mentawai malam hari.
"Jarang ada yang menginap karena di Padang tidak banyak tempat wisata
seperti Bukittinggi," kata Christina. Namun begitu, ada juga tamu-tamu
asing reguler yang datang ke hotelnya setiap liburan setahun sekali.
Menurut Christina yang paling disukai tamu adalah duduk di beranda
restoran. "Apalagi kalau malam hari indah sekali, kami menyalakan lilin,
dan tampak rumah-rumah perkampungan di seberang sungai yang diterangi
lampu, ada juga kapal-kapal," katanya.
Selain turis asing, tamu lokal pun sudah banyak yang datang ke
restorannya. Setiap Rabu, Sabtu dan Minggu adalah hari-hari sibuknya
melani tamu.
Ia pernah berencana membuat restoran dan hotel serupa di salah satu
bangunan tua lainnya di Batang Arau. Namun setelah dilihat ternyata
bangunan itu sudah tak terawat dan butuh dana yang besar untuk
merenofasi. "Sayang sekali, bangunan-bangunan tua itu sebenarnya aset
besar untuk wisata, namun dibiarkan tidak terawat," katanya.
Ia merasa sangat enjoy dengan pekerjaanya saat ini. "Bayangkan, saya
bisa bergaul dengan banyak orang dari berbagai suku bangsa dan beragam
karakter," katanya. (
yanti)
(Sekarang Hotel Batang Arau belum beroperasi kembali pasca musibah gempa yang melanda kota Padang dan sekitarnya pada tahun 2009 lalu)
Sumber :
http://www.padangkini.com/index.php?mod=wisata&id=361 http://www.tripadvisor.co.id/Hotel_Review-g297726-d555897-Reviews- Hotel_Batang_Arau-Padang_West_Sumatra_Sumatra.html