Sunday, December 16, 2012

RANAH MINANG : Masa Lalu di Muaro Batang Arau


 Geo Wehry & Co.
      Pada tahun 1511, Portugis merajalela di selat Malaka. Imperium Aceh lumpuh dibuatnya. Bersamaan dengan itu, kesibukan lalu lintas perdagangan pun tersendat di kawasan yang sangat sibuk itu. Kerakusan Portugis membuat kapal-kapal dagang dari negara-negara Asia dan Eropa tak bisa lewat. Akhirnya, pantai barat yang ombaknya dikenal ganas terpaksa dipilih sebagai jalur alternatif perdagangan dunia. Sepotong pesisir di muara sungai Arau tiba-tiba menjadi persinggahan yang ramai di tepian samudera Indonesia sebelum kapal-kapal dagang melanjutkan pelayaran ke Jawa.
Pelabuhan kecil yang awalnya bernama kampung Batung itu kini bernama kota Padang.


      Setiap kota harus punya hikayat lama. Kota Padang, Sumatera Barat, juga punya sejarah panjang yang jejaknya sudah berlumut di kawasan Muaro, kecamatan Padang Selatan. Di sini, gedung-gedung tua peninggalan Belanda masih berdiri kokoh seperti gerbang masuk menuju pintu masa lalu ibukota Sumatera Barat. Muaro atau yang mereka sebut sebagai Kota Tua Padang itu hanya berjarak sekitar lima kilometer dari pusat kota Padang sekarang. Di sini, atmosfir awal abad 20 langsung terasa. Maklum saja, Muaro pada zaman dahulu adalah kota pelabuhan dan pusat perdagangan di pesisir sebelah barat Sumatera. Posisi sebagai kota pelabuhan itu masih berlangsung hingga kini, meski yang singgah hanya terbatas pada kapal-kapal nelayan dan ferry yang akan berangkat ke pulau Mentawai.
Posisi strategisnya yang berada di muara Batang (sungai) Arau dan berhadapan langsung dengan Laut Indonesia, membuat Belanda sempat memusatkan kekuasaannya untuk wilayah Sumatera di kawasan ini. Mereka mendirikan bangunan pemerintahan, perhubungan, keagamaan, militer dan pendidikan. Padang pun menjadi daerah Cremente. Kota Tua Padang kini menjadi salah satu landmark dan kebanggaan warga Padang karena memiliki ciri khas tersendiri dan sekaligus menjadi sebuah museum terbuka.


      Puluhan bangunan tua yang terbuat dari tembok permanen maupun semi permanen mencirikan kejayaan pada masanya. Bangunan-bangunan itu berjejer di sepanjang jalan Arau, Pasar Batipuh, Pasar Hilir, Pasar Mudik, Pasar Melintang, Niaga, Pulau Air, Pasar Ambacang dan sekitarnya. Sebagian besar gedung kuno yang tersisa sekarang berasal dari akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. Bangunan pada masa sebelum itu habis terbakar dalam tiga kebakaran besar pada tahun 1840, 1861 dan 1897. Begitupun, bangunan yang tersisa menyimpan banyak langgam gaya arsitektur, seperti arsitektur klasik yang hadir sebelum tahun 1910, arsitektur neo-klasik (art deco ornamental) sebelum tahun 1920, arsitektur moderen fungsional (art deco geometrik) sebelum tahun 1935, arsitektur moderen (tropis) Indonesia sebelum tahun 1940 dan arsitektur moderen internasional (art deco streamline) yang hadir sebelum tahun 1940. Karya seni kontemporer Eropa ini hadir di Indonesia bersamaan dengan datangnya Belanda.

Padangsche Spaarbank.
    Gedung-gedung di sebelah kiri Jalan Arau umumnya bangunan milik pemerintah. Misalnya gedung Padangsche Spaarbank (1908) yang sekarang menjadi Hotel Batang Arau. Model arsitektur bangunan ini bergaya neo-klasik yang nyaris sempurna dan megah dengan berbagai unsur yang mungkin terbagus pada masanya. Pilar-pilar kokoh sentuhan artistik menghiasi bagian atap yang berbentuk piramid. Tiga jendela lebar di bagian atas menggunakan kerangka besi.

De Javasche Bank.
     Tak jauh dari sana, berdiri gedung De Javasche Bank. Bangunan yang sekarang dimiliki Bank Indonesia itu sangat anggun dengan arsitektur moderen (tropis) Indonesia. Tentu saja kini banyak bagian dalamnya yang direhab sesuai kebutuhan, namun tetap tidak mengubah tampilannya dari luar. Di seberang gedung De Javasche Bank, persis di samping Jembatan Siti Nurbaya, terdapat kantor Gubernur Belanda yang sekarang dimanfaatkan sebagai kantor Itwilprov Sumbar. Berikutnya adalah Nederlandche Handel-Maatschappij (NHM), perusahaan perdagangan Belanda yang menggantikan VOC (Verenigde Oostindische Compagnie). Perusahaan ini memonopoli perdagangan luar negeri pada akhir abad ke 19 dan kemudian berkembang menjadi lembaga perbankan pada tahun 1930. Tak ada yang menyangka gedung ini bertingkat dua. Bentuk bangunannya dikamuflase sehingga penampakannya dari luar bangunan seolah adalah bangunan beratap tinggi saja. Sekarang gedung ini dijadikan gudang PT. Panca Niaga. Bangunan-bangunan tua yang ada di sekitar kantor Nederlandche Handel-Maatschappiji merupakan gedung perkantoran perusahaan dagang besar milik Belanda, seperti Hautten, Steffan, Guntzel & Schumacher, Veth, Geowehry Jacobson van Den Berg, Tels & Co, Internatio dan sebagainya. Agak ke dalam, bangunan-bangunan umumnya merupakan pemukiman dan model rumah toko (street setlement), rumah ibadah, dan kantor perniagaan. Secara garis besar, modelnya tetap sama. Hanya saja sebagian di antaranya sudah dipengaruhi gaya seni bangunan etnik, baik Cina, India, maupun Melayu. Pengaruh etnik tersebut terlihat pada bagian puncak atau atap bangunan beserta ornamen-ornamen pada dinding, tiang, pintu, jendela maupun ventilasi bangunan. Salah satunya adalah Mesjid Muhammadan di Jalan Pasar Batipuh. Mesjid yang dibangun sekitar akhir abad ke-19 ini dipengaruhi gaya India yang bisa dilihat dari ornamen pada menara tembok di kiri dan kanan mesjid yang berbentuk menara.

Ruko Jalan Pondok
       Sementara, bangunan di sepanjang jalan Niaga kaya dengan ornamen khas Tiongkok (Cina). Di sinilah perkampungan etnis Tionghoa berkembang sampai sekarang. Uniknya, tak satupun bangunan di kawasan Kota Tua Padang ini dipengaruhi gaya Minangkabau yang dikenal khas dengan rumah bergonjong. Kemungkinan hal ini karena pengaruh kekuasaan Aceh pada masa sebelumnya yang melarang rumah bergonjong. Sayangnya, kawasan yang dahulunya pernah ramai dan menjadi cikal-bakal kota Padang ini, kurang terawat. Seputaran Muaro, Pasar Mudik dan Pasar Gadang saat ini hanya difungsikan sebagai gudang saja. Nilai estetikanya kurang diperhatikan. Gedung yang menghitam karena timbunan lumut dibiarkan begitu saja. Seperti fungsi awalnya, Muaro masa kini tetap juga menjadi daerah perniagaan. Aktifitas bongkar-muat menjadi tontotan selingan bersamaan dengan ramainya bangunan kaki lima dan pedagang yang mengambil bagian trotoar jalan, sehingga pejalan kaki terpinggirkan. Sebagai objek wisata, kawasan ini masih berupa potensi. Belum diolah sama sekali. Pemerintah kota Padang sebenarnya telah memetakan Muaro sebagai salah satu dari tiga kawasan wisata yang akan dibangun, meliputi Gunung Padang, Pantai Air Manis dan Muaro. Guna mendukung upaya pelestarian dan renovasi gedung-gedung tersebut, pemerintah pusat melalui Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah sudah memberikan bantuan Rp 1 miliar. Renovasi awal itu menyangkut upaya mengembalikan arsitektur gedung kepada bentuk semula, berikut pengecatan. Selain itu, membangun trotoar untuk pejalan kaki, penanaman pohon pelindung dan pembuatan taman. Targetnya, mengembangkan suasana “Kota Padang Tempo Doeloe” dengan tujuan akhir pengembangan pariwisata. Satu paket dengan upaya tersebut, pelabuhan Muaro akan dikembangkan sebagai pelabuhan Marina, tempat berlabuhnya kapal-kapal wisata dari mancanegara seperti Sidney, Australia, Hawai dan sebagainya. Proses ke arah itu sedang dilakukan dengan melakukan pengerukan dan pelebaran Batang Arau. Sementara kapal-kapal nelayan yang biasa tambat di sana dialihkan ke pelabuhan Bungus, sekitar 20 kilometer dari Muaro. Ide menyangkut konsep wisata terpadu itu memang bukan rencana jangka pendek. Butuh keseriusan dan perencanaan yang matang agar bisa bersinergi dengan kondisi sekarang. Masyarakat masih memandang sepi kandungan sejarah bangunan-bangunan tua, sehingga mereka dengan mudah merubuhkannya dan mendirikan bangunan baru. Sudah banyak bangunan tua yang dirubuhkan. Misalnya lokasi tempat berdirinya Hotel Bumi Minang di Jalan Bundo Kanduang yang sebelumnya merupakan rumah dinas komandan militer Belanda. Demikian juga dengan Hotel Muara di Jalan Gereja yang sebelumnya adalah rumah dinas Gubernur Belanda, Hotel Aceh, dan Hotel Oranye. Untunglah balai kota sebagai pusat pemerintahan kota Padang yang berada di Jalan HM. Yamin masih tetap mempertahankan arsitektur yang sama seperti saat masih menjadi Gedung Gemeente (pemerintahan). Andaikan semuanya ludes, maka kota Padang akan menjadi bagian dari kebuasan terhadap masa lalu. Kepopuleran pelabuhan Muaro sebagai kota pelabuhan internasional sudah dimulai sejak tahun 1511 saat Portugis memblokade selat Malaka setelah menguasai kerajaan Malaka. Blokade itu untuk melumpuhkan kekuasaan Kesultanan Aceh yang sebelumnya mengendalikan aktifitas perdagangan di selat Malaka. Akibatnya kapal dagang dari negara-negara Asia dan sebagian Eropa terpaksa memutar haluan, dan menjadikan kawasan pantai barat Sumatera sebagai penghubung ke laut Jawa melalui perairan Sunda. Pelabuhan Muaro seperti diselamatkan ombak. Mendadak ia ternama sebagai kota pelabuhan karena disinggahi kapal dagang dari Inggris, Perancis dan Cina. Sekitar tahun 1340, daerah ini hanya dikenal sebagai kampung nelayan. Namanya kampung Batung. Kampung ini di bawah sistem pemerintahan nagari yang diperintah Penghulu Delapan Suku. Cikal-bakal masuknya Belanda di Ranah Minang berlangsung dengan kedatangan VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) untuk melakukan transaksi dagang. Belakangan VOC berhasil mengadu-domba masyarakat Minangkabau dan Aceh, sehingga tercipta Perjanjian Painan pada tahun 1633 yang sekaligus mengakhiri kekuasaan Aceh di Minang. Salah satu poin penting perjanjian Painan adalah, tidak mengakui kerajaan Aceh, dan sebaliknya mengakui Raja Minangkabau sebagai penguasa tertinggi dan mengakui VOC sebagai pelindung serta hanya berdagang dengan mereka. Menindaklanjuti perjanjian ini, pada tahun 1667 VOC menjadikan Padang sebagai pusat perwakilan (headquarter) untuk wilayah pesisir barat Sumatera yang ditandai dengan pembangunan benteng pertahanan atau loji. Pembangunan loji ini atas izin penghulu terkemuka, Orang Kayo Kaciak. Loji berbentuk empat segi dengan setiap sisi sepanjang 100 meter dan tinggi enam meter di sekitar Muaro. Penentangan terhadap VOC muncul dari rakyat Minangkabau di Pauh dan Koto Tangah. Mereka membakar loji pada 7 Agustus 1669. Momen inilah kemudian yang ditetapkan sebagai “Hari Jadi Kota Padang”. Setelah berakhirnya masa VOC yang ditutup karena rugi, pada 20 Mei 1784 Belanda secara resmi mengambil alih Padang dan menjadikannya pusat kedudukan dan pusat perniagaan di wilayah Sumatera. Belanda membangun gudang-gudang untuk menumpuk barang sebelum dikapalkan melalui pelabuhan Muara Padang yang berada di muara Batang (sungai) Arau. Kawasan inilah yang merupakan kawasan awal Kota Tua Padang. Batang Arau yang berhulu sekitar 25 kilometer ke pegunungan Bukit Barisan merupakan salah satu dari lima sungai di Padang. Sungai ini sangat penting karena posisinya sangat strategis dibanding Batang Kuranji, Batang Tarung, Batang Tandis dan Batang Lagan. Status sebagai pusat perniagaan kemudian memacu pertumbuhan fisik kota dan semakin berkembang pasca terbangunnya pelabuhan Emma Haven yang sekarang disebut sebagai Teluk Bayur pada abad ke 19. Kota ini lebih melesat lagi setelah ditemukannya tambang batubara di Umbilin, Sawah Lunto/Sijunjung, oleh peneliti Belanda, De Greve. Namun sentra perdagangan tetap di Muaro. *** Sejak lama, kota Padang adalah wilayah persaingan pasar yang sengit. Para pesaing muncul berdasarkan etnis tertentu, hingga akhirnya tumbuh berbagai pusat perdagangan seperti Pasar Gadang, Pasar Mudik, Pasar Batipuh, Pasar Tanah Kongsi, Pasar Jawa dan sebagainya. Pasar pertama di Kota Padang adalah Pasar Gadang yang berada di sisi kanan Batang Arau. Pasar Mudik yang jauh dari situ berdiri kemudian.

Kelenteng See Hion Kiong.
      Lantas pedagang Cina membuat pasar baru dekat Klenteng See Hion Kiong (1861) yang masih berdiri sampai sekarang. Namun sejumlah kebakaran kemudian menghanguskan pasar. Kawasan kota Padang pada masa itu terbagi dalam kelompok-kelompok bangsa. Para penduduk keturunan Cina bermukim di sekitar Pasar Tanah Kongsi yang selanjutnya disebut Kampung Cina. Bagian kota lain didiami pemukim keturunan India, saudagar dari Arabia dan Persia yang kemudian terkenal dengan Kampung Keling. Ada juga Kampung Jawa yang didiami perantau asal Jawa yang konon sudah ada di Minangkabau sejak zaman Majapahit. Agak ke hulu lagi, berdiam warga keturunan Nias, Melayu dan Bugis. Sementara masyarakat Minangkabau asli bermukim agak di belakang lagi. Pada 1 Maret 1906, Padang resmi ditetapkan sebagai daerah Cremente melalui ordonansi yang menetapkan (STAL 1906 No.151) yang berlaku mulai 1 April 1906. Setelah Proklamasi 1945, daerah ini berstatus kotapraja. Pada 9 Maret 1950 Padang dikembalikan ke Indonesia yang masih menjadi negara bagian melalui Surat Keputusan Presiden RI Serikat No. 111. Selanjutnya pada 15 Agustus 1950 Gubernur Sumatera Tengah melalui Surat Keputusan No. 65/GP-50 menetapkan Pemerintahan Kota Padang sebagai suatu daerah otonom, sementara menunggu penetapannya sesuai UU No. 225 tahun 1948. Saat itu kota Padang diperluas, kewedanaan Padang dihapus dan urusannya pindah ke Walikota Padang. Lalu pada 29 Mei 1958 keluar pula Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat No. 1/g/PD/1958 yang menetapkan Kota Padang menjadi ibukota Propinsi Sumatera Barat secara de facto. Baru pada tahun 1975 secara de jure Padang menjadi ibukota Sumatera Barat, ditandai dengan keluarnya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Sebuah kota dengan sepotong sejarah nasional dan internasional. Tapi siapa yang akan memikirkan masa lalunya? teks & foto oleh rasya alfansyuri.

Source : http://www.insidesumatera.com/?open=view&newsid=543&go=Masa-Lalu-di-Muaro-Batang-Arau-

No comments:

Post a Comment